Lahan seluas 200 hektare dari 1.600 hektare bekas PT Kallista Alam sudah terlanjur ditanami sawit. Tapi, aktivis lingkungan dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh (DLHK) sepakat lahan tersebut dikembalikan menjadi hutan.
Kepala Dinas LHK Aceh Syahrial, mengatakan, sawit di dalam lahan yang sempat terbakar itu masih potensial dikelola minimal sekali daur. Setelah sawit dinilai sudah tidak potensial, pihaknya akan melakukan peremajaan atau reboisasi.
“Jadi (nanti) pengggantinya itu harus kayu artinya harus dikembalikan ke hutan lagi,” kata Syahril saat ditemui wartawan, Jumat (29/6/2018).
Saat ini, usia sawit dilahan seluas 200 hektare tersebut sudah mencapai enam tahun. Setelah izin usaha PT Kallista Alam dicabut, Dinas LHK Aceh sempat melibatkan pihak ketiga yaitu Koperasi Kopermas Sinpa untuk mengelola lokasi ini. Namun karena tidak serius, maka perjanjian kerjasama diputuskan.
“Itu yang kita kerjasama untuk memelihara sawit dan melakukan reboisasi kembali, itu programnya,” jelas Syahrial.
“Kemitraan kita di situ kita tempatkan sementara sampai satu daur itu sampai 30 tahun. Tapi ini kita kerjasama 10 tahun nanti kita lihat apakah reboisasi atau ditebang kembali,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur, berharap tanah 1.600 hektare yang sebelumnya dibakar itu seharusnya dihutankan kembali dan menjadi kawasan konservasi. Untuk pengelolaannya, diharapkan di bawah Dinas Kehutanan Aceh.
“Dia harus memastikan benar-benar berhutan, karena tanah yang terlantar begitu pasti ada bisnis sawit baru yang kepemilikannya dari petani maupun koperasi. Di luar HGU pasti ada petani,” ungkap M Nur.
Mantan Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Aceh, Husaini Syamaun, mengatakan, pasca pencabutan izin usaha perkebunan PT Kallista Alam seluas 1.605 hektare, Pemerintah Aceh mengambil alih lahan tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencegah masyarakat perorangan menguasai bekas lahan yang dibakar tersebut.
“Pasca pencabuatan itu banyak masyarakat perorangan ingin menguasai, kalau tidak dijaga nanti akan dikuasai masyarakat. Kalau sudah dikuasi lebih rumit lagi penyelesaiannya,” kata Husaini.
Untuk pengelolaannya, Dinas Kehutanan Aceh sempat melibatkan pihak ketiga yaitu koperasi Kopermas Sinpa. Perjanjian kerjasama itu diteken pada 2 Maret 2015 silam. Ada sejumlah hal yang menjadi syarat dalam perjanjian ini termasuk tidak boleh menanam sawit baru.
“Kita persyarakatkan kepada mereka ini khusus pada memanfaatkan sawit yang sudah terlanjur ditanam, tidak boleh ditanam baru. Habis masa panen berakhir artinya tidak ekonomis lagi harus diganti dengan tanaman kayu tidak boleh tanam sawit lagi,” jelas Husaini.
Perjanjian kerjasama ini kini sudah dibatalkan karena pihak koperasi tidak membuat laporan dan tidak mengurus sawit. Pembatalan dilakukan pada 2016 silam.
“Panen belum dilaporkan ke kita dan tidak diurus. Setelah kita lakukan peringatan 3 kali maka izin dicabut,” ungkapnya. Detik.com