Ombudsman RI menilai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 SMA / Sederajat dengan sistem zonasi berpotensi memunculkan sejumlah permasalahan. Koordinasi Tim Bidang Pendidikan Ombudsman Rully Amirulloh pun mengkritik sistem zonasi dengan jalur Warga Penduduk Setempat (WPS) yang menentukan calon peserta didik bukan dari nilai melainkan berdasarkan jarak terdekat dari sekolah.
“Kalau nilai Ujian Nasional dia 15 atau paling rendah banget, namun karena jaraknya dengan sekolah negeri dekat misal cuma 100 meter, ya sudah diterima. Jadi ini bagian yang Ombudsman kritik tentang aturan ini,” kata Rully saat dihubungi Republika, Rabu (20/6).
Selain itu, Rully juga menyoroti jumlah pendaftar yang sudah melebihi kuota. Seharusnya rata-rata rombongan belajar (rombel) untuk SMA/Sederajat sebanyak 12 kelas, namun berdasarkan pantauan Ombudsman sejak sebelum lebaran, masih banyak sekolah yang hanya membuka 9 kelas.
“Kalau bicara infrastruktur yang ada dengan jumlah siswa yang telah lulus dari SMP itu enggak sebanding, lebih banyak jumlah siswa yang lulus dibandingkan dengan infrastruktur yang ada,” kata Investigator Ombudsman tersebut.
Tidak hanya itu, besarnya kuota yang diterima dari jalur keluarga tidak mampu yaitu 20 persen di seluruh jumlah siswa yang diterima membuat banyak orang tiba-tiba menjadi ‘mendadak miskin’. Ia pun memuji langkah Walikota Depok Mohammad Idris yang mengintruksikan kelurahan untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) secara dadakan tanpa sejumlah syarat, salah satunya calon siswa miskin tersebut harus terdata di SMP asal dan terdata sebagai siswa miskin sejak awal.
Rully melanjutkan, Ombudsman hingga saat ini memang belum bisa memberikan rekomendasi lantaran masih sebatas potensi. Namun ia mengatakan kecenderungannya tahun ini lebih baik dibanding tahun kemarin.
“Bicara temuan untuk 2018 ini belum, belum ada dan belum keliatan. Tapi kecenderungannya lebih sedikit dibanding tahun lalu,” terangnya. Republika