Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, menantang Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh untuk melaksanakan Qanun Aceh secara konsisten jika memang Pemerintah Aceh ingin menghargai Qanun.
YARA menantang Kepala Biro Hukum untuk melaksanakan Qanun No 3 tahun 2012 tentang Bendera dan Lambang Aceh, karena Qanun tersebut sudah disahkan oleh DPR Aceh beberapa tahun lalu.
“Kalau bicara regulasi harus konsisten jangan ambil yang menguntungkan saja, kami ajak Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh untuk mengibarkan Bendera Bulan Bintang di lingkungan jajaran Pemerintah Aceh, dan segera di instruksikan kepada seluruh instansi di Aceh agar melaksanakan Qanun tersebut” tantang Safar.
YARA mengingatkan Karo Hukum akan Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang di bawahnya, dan itu juga sudah di tegaskan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang hirarki peraturan perundangan.
Menurutnya, logika yang di pakai itu memang tidak masuk akal, karena Qanun tersebut bertentangan dengan dua Undang-undang, namun jika melihat kondisi hari ini, Menteri Hukum dan HAM saja menolak menandatangani PKPU tentang Larangan Eks Koruptor untuk mencalonkan diri menjadi anggota Legislatif karena PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-undang, apalagi Qanun yang bertentangan dengan dua Undang-undang.
“Satu lagi tentang Asas lex specialis derogate legi generali artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum, untuk Pemilu kan menggunakan UU Pemilu. Kalau kita lihat kondidinya Menteri saja patuh pada UU, karena bila melanggar UU berarti melanggar sumpah/janji jabatan, dan bila itu terjadi maka pejabat tersebut di berhentikan dari jabatannya,” ujar Safar.
Safar meminta kepala Biro Hukum untuk melihat dalam kasus pemberhentian Bupati Garut, Aceng Fikri, karena melanggar UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dalam pasal 2 di sebut bahwa “tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” sedangkan Aceng Fikri saat itu melakukan pernikahan siri dan menceraikan istri siri nya melalui pesan pendek (SMS) yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan, atas dasar itu kemudian DPRD Kabupaten Garut melakukan Rapat Paripurna menyatakan bahwa Bupati melanggar UU, kemudian di teruskan ke Mahkamah Agung untuk mengadili dan memutuskan apakah benar ada pelanggaran sumpah jabatan atau tidak, selanjutnya Putusan tersebut di kembalikan kepada DPRD untuk di sidangkan kembali, dan di usulkan kepada Gubernur dan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan akhirnya Aceng Fikri di berhentikan dari jabatannya oleh Presiden.
“Hal ini bisa juga berlaku dalam permasalahan penolakan pelantikan KIP oleh Gubernur, oleh karena itu kami tetap mendesak agar DPRA melakukan proses sebagaimana pernah di lakukan oleh DPRD Garut dalam memberhentikan Bupati,” pungkas Safar.