Banyak korban kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak berani melaporkan kasusnya. Hal itu dikarenakan para pelaku adalah orang-orang terdeka.
Hal demikian disampaikan Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Aceh T. Syarbaini, pada pelatihan SDM Media tentang Jurnalisme sensitif Gender, di Banda Aceh, Kamis (03/05/2018).
Pelatihan tersebut merupakan kerjasama Kementrian PP dan PA bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh.
Syarbaini mengatakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015 kasusnya sebanyak 939 kasus, meningkat pada tahun 2016 menjadi 1.648 kasus dan kembali meningkat tahun 2017 sebanyak 1.791 kasus.
Ia menyebutkan dari keseluruhan kasus pada tahun 2017, kasus kekerasan psikis mendominasi yaitu mencapai 359 kasus, KDRT 316 kasus dan kekerasan fisik 255 kasus.
Sementara kekerasan terhadap anak di dominasi oleh kasus psikis sebanyak 399 kasus, pelecehan seksual 240 kasus dan kekerasan fisik sebayak 165 kasus.
“Ini kasus-kasus yang terlapor dan tercatat di lembaga pemeberi layanan seperti P2TP2A, unit PPA di Polda dan Polres-Polres se Aceh dan lemabga palayanan lain yang menangani kasus kekerasan perempuan dan anak,” ujarnya.
Namun pihaknya meyakini kasus yang terjadi di masyarakat dan tidak dilaporkan masih jauh lebih banyak. hal itu dikarenakan masyarakat malu untuk melaporkan dan bahkan ada masyarakat yang tidak tau harus melaporkan kemana. Selain itu tidak jarang juga masyarakat tidak melapor karena pelaku adalah orang terdekat korban, sehingga menjadi aib keluarga.
“Maka kami menilai peran media menjadi sangat pentin sebagai jembatanuntuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam memfasilitasi dan menindaklanjuti penanganan kasus-kasus kekerasan terahdap perempuan dan anak yang terjadi dalam masyarakat, karena selama ini banyak kasus terungkap karena bantuan dari pemberitaan media,” lanjutnya.
Sementara itu Kepala Bidang Fasilitasi Partisipasi Media Elektronik Budi Hartono mengatakan, pelatihan jurnalisme sensitive gender untuk membantu para pekerja media untuk memahami dan mengenali serta mampu menganalisis relasi antara perempuan dan laki-laki secara lebih seimbang dalam menganalisis berbagai fakta, isu dan data dari perspektif gender dan HAM secara terstruktur.
“Karena isu-isu terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia sama, banyak yang tidak berani melapor karena pelakunya orang terdekat dan ini dianggap menjadi aib keluarga. Padahal kasus kekerasan tetap harus diselesaikan secara hukum,” lanjutnya.