Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendesak pemerintah mengevaluasi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang diberikan kepada PT Tusam Hutani Lestari (HTL), karena diduga terjadi pelanggaran hukum.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh M Nur di Banda Aceh, Selasa menyatakan, PT THL yang memiliki izin usaha di Kabupaten Bener Meriah seluas 97.300 hektare dan berakhir 14 Mei 2035 telah disalahgunakan, sehingga terjadi ilegal loging.
M Nur menyatakan, pada awalnya PT THL berkewajiban menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Namun, dalam rentang 15 tahun terakhir, PT THL tidak beroperasi secara normal.
Kemudian, kata dia, PT THL diarahkan memasok kebutuhan kayu lokal, tetapi perusahaan itu tidak melakukannya. Selain itu, sebagian areal PT THL banyak terjadi aktivitas ilegal perambahan hutan.
“Terkait aktivitas ilegal tersebut, Walhi Aceh telah mendiskusikannya bersama Dinas Kehutanan Kabupaten Bener Meriah serta Kesatuan Pengelola Hutan atau KPH Wilayah II,” kata M Nur.
KPH Wilayah II, sebut dia, sudah berulang kali memberi teguran kepada perusahaan tersebut karena menelantarkan izin, sehingga menimbulkan aktivitas ilegal.
Selain itu, kata dia, alokasi kayu PT THL pada 2014 sebanyak 53 ribu meter kubik tidak mampu dipenuhi, sehingga alokasinya diturunkan menjadi 35 ribu meter kubik pada 2016. Namun, yang terealisasi hanya 700 meter kubik.
“Akibatnya, perusahaan tersebut tidak mampu menunaikan kewajibannya di atas areal yang telah diberi izin oleh pemerintah. Malah, sebaliknya, PT THL dianggap lalai dalam menjaga areal kerjanya, sehingga terjadi aktivitas ilegal,” ungkap M Nur.
Oleh karena itu, lanjut dia, Walhi Aceh mendesak pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh izin yang diberikan kepada PT THL. Serta memberikan sanksi hukum kepada perusahaan itu yang dinilai lalai menjaga areal kerjanya, sehingga terjadi aktivitas ilegal di dalamnya.
“Kehadiran perusahaan itu tidak mampu memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat setempat. Malah sebaliknya, perusahaan itu telah membatasi ruang bagi wilayah kelola masyarakat setempat,” kata M Nur.
Antara