Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, melaporkan hasil rapat bersama Forkompimda Aceh terkait penanganan Imigran Bangsa Tamil Sri Langka yang terdampar di Aceh kepada Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Dalam rapat tersebut, kata gubernur, diketahui bahwa kapal yang ditumpangi para imigran tersebut tidak mungkin lagi untuk berlayar.
“Setelah mendengar paparan dalam rapat, diketahui bahwa kapal tidak layak jalan dan rusak parah,” kata gubernur seperti bunyi pesan yang dikirimkannya kepada Wapres di Jakarta, Selasa 21 Juni 2016.
Terkait penampungan sementara yaitu di bibir pantai Lhoknga, Gubernur Zaini menyebutkan, pemerintah memandang hal itu tidak memungkin juga untuk diteruskan. Secara kemanusiaan, sebut gubernur, mereka haruslah segera diungsikan ke tempat yang lebih layak. “Rencananya mereka akan ditempatkan sementara di tempat penampungan milik imigrasi di Kota Lhokseumawe,” lapor gubernur.
Terkait keamanan, pihak polisi dibantu TNI yang akan mengurusnya. Sementara penanganan mereka di tempat penampungan nantinya, kata gubernur, sesuai dengan memo Wapres pada pekan lalu, akan diurus oleh Kemeterian Sosial RI. Terkait kesehatan nantinya akan dilimpahkan oleh Kementerian Kesehatan dan dibantu oleh Pemerintah Daerah. “Kami mohon arahan Bapak Wapres agar permasalahan ini dapat cepat terselesaikan,” ujar gubernur.
Untuk saat ini, pemerintah bersama seluruh instansi terkait menunggu hasil verifikasi yang dilakukan oleh UNHCR. Dari hasil tersebut, baru kemudian dapat diputuskan status ke-43 ‘manusia perahu’ tersebut. Hingga kini, verifikasi baru sebatas pendataan jumlah nama beserta usia. Nantinya, verifikasi lanjutan akan dilakukan di tempat penampungan.
Gubernur menyebutkan, meski Pemerintah Aceh telah mengambil tindakan untuk menampung para imigran yang mengaku dari Sri Lanka tersebut, Pemerintah tetap menghendaki agar mereka secepatnya dapat dipulangkan ke daerah asal. Tindakan yang diambil gubernur, setelah melihat kondisi cuaca saat ini, di mana angin kencang dan hujan deras kadang mengguyur Aceh. Di tenda penampungan diketahui ada anak kecil dan ibu hamil.
“Harapan selanjutnya, mereka tetap akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan melibatkan Kedutaan Sri Lanka dan India,” ujar gubernur dalam laporannya. Kedutaan Sri Lanka dilibatkan karena para pengungsi tersebut mengaku berasal dari Sri Lanka. Sedangkan kapal yang mereka gunakan berbendera India. Karena itu, kedua kedutaan tersebut bakal dilibatkan dalam proses verifikasi nantinya.
Dalam rapat yang melibatkan seluruh unsur Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (Forkopimda) dan juga semua instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dandim, Kapolres Aceh Besar, dan Danlanal Sabang tersebut, diketahui bahwa segala upaya telah ditempuh untuk menjawab memo Wapres per tanggal 15 Juni lalu. Dalam memo tersebut, Wapres menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh diminta untuk menfasilitasi segala kebutuhan para imigran tersebut, termasuk memperbaiki kapal agar segera bisa dilabuhkan kembali ke laut. Namun demikian, setelah TNI AL memeriksa kondisi kapal, diketahui bahwa kapal ber nomor register TN 1 FV 00455 — 09 itu sangat rentan jika dipaksakan untuk berlayar.
“Hasil survey kita dengan Syahbandar Malahayati, bahwa secara teknis kapal sudah tidak layak melaut,” ujar Danlanal Sabang, Letkol Laut (P) Kicky Salvachdie, SE.
Letkol Kicky menyebutkan, lambng kapal mengalami banyak kebocoran dan didapati beberapa tambalan semen dan plang tipis. Mesin pun mengalami kerusakan parah. “Tambalan itu berada di bawah mesin. Itu sangat sulit untuk diperbaiki,” ujarnya. Pihak TNI AL sudah mencoba untuk mengelas beberapa kebocoran termasuk menambal dengan semen. Tapi kondisi kapal yang beberapa hari berada di pinggir pantai juga membuat lambung semakin rentan. Cuaca buruk dengan ombak besar dan angin kencang membuat kapal oleng ke laut dan kini mesin kapal tergenang hingga setengah meter dan oli mulai keluar.
Dalam laporan yang diperoleh pihak keamanan dan Imigrasi Kanwil Aceh, diketahui bawah ke 43 imigran tersebut pergi dari tempat penampungan pengungsi di negaranya setalah tinggal selama 26 tahun. Mereka diajak oleh seorang agen untuk berimigrasi ke Australia tujuan pulau Christmas, dengan membayar Rp.50 rupe per orangnya. Mereka berangkat setelah mempersiapan diri selama lima bulan. Namun menurut pengakuan mereka, agen dan nahkoda kapal kabur saat mereka telah tiba di laut lepas di India.
“Kami terdampar dan tidak tahu kalau ini adalah Indonesia,” kata Sutta, salah satu imigran yang menguasai bahasa iggris, seperti dilaporkannya kepada Letkol Kicky.
Tapi Kicky sangsi tentang kebenaran berita tersebut. Pasalnya, setelah diselediki hingga ke lambung kapal, saat kapal masih belum berlabuh di bibir pantai, selang yang menghubungkan mesin terlepas dan jangkar bukan terputus, melainkan seperti terpotong.
Belum lagi kejadian di tangga 13 Juni, saat dua penumpang kapal meloncat dan berenang ke bibir pantai. Kicky menduga, mereka adalah nelayan. Hal itu didasari bahwa mereka bisa mengiring kapal hingga ke bibir pantai pada keesokan harinya tanpa tergores karang. Padahal terdapat karang besar di dekat bibir pantai.
“Para imigran ini bisa melewati karang dengan melihat jalur aman. Analisa kami mereka meloncat untuk melihat kedalaman tempat mana yang bsa dilewati kapal,” ujar Kicky.
Kajati Aceh, Raja Nafrizal, sepakat dengan apa yang dikatakan Kicky. Banyak terjadi kasus serupa di negeri ini, di mana para imigran mengakui bahwa mereka ditinggal lari agen di tengah laut. “Mungkin itu karangan mereka. Mereka tidak ada dokumen, dan barangkali mereka hanya mengaku kalau berasal dari Sri Lanka,” ujar Raja.
Raja menyebutkan, pemerintah harus segera melaporkan kepada pemerintah negara asal para imigran tersebut agar status kenegaraan mereka bisa segera terjawab. Jika kemudian mereka memang terbukti tertipu oleh agen, maka penanganan terhadap mereka akan berbeda. Mereka secara langsung bisa dikembalikan ke negara asal, sebagai korban human trafficking atau perdagangan manusia. “Jika mereka pencari suaka atau mereka pengungsi, penanganan akan lain lahi,” ujar Raja. “Jika mereka korban, agennya bisa dihukum dan mereka dideportasi.”
Sementara Kepala Imigrasi Kantor Wilayah Aceh Samadan, menyebutkan, pihaknya melalui Direktrat Jenderal Imigrasi RI sudah berkomunikasi dengan kedutaan Sri Lanka di Jakarta. Dalam waktu dekat pihak kedutaan akan ke Aceh untuk melakukan verifikasi.
Imigrasi, kata Samadan juga bekerjasama dengan UNHCR, untuk melakukan proses pendeteksian status para imigran tersebut, sehingga berbagai langkah dapat diambil nantinya. Hingga saat ini, status para imigran tersebut masihlah orang asing yang melanggar peraturan keimigrasian yaitu masuk ke Indonesia tanpa dokumen apa pun. “Kita cari upaya mereka bisa dikeluarkan dari Indonesia,” kata Samadan.
Dari data yang diperoleh Kanwil Imigrasi Aceh, jumlah para imigran adalah 43 orang. Anak-anak berjumlah 13 orang, laki-laki 18, dan perempuan 12 orang.