Pemerhati lingkungan di provinsi Aceh meminta DPR Aceh untuk melakukan revisi kembali terhadap qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh tahun 2013-2033 yang telah disahkan oleh DPR Aceh tahun 2013 silam.
Sejumlah poin dalam Qanun RTRW Aceh dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.
Aktifis lingkungan TM Zulfikar menyebutkan qanun RTRW melanggar aturan yang lebih tinggi seperti UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang diperkuat dengan PP No 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah Nasional.
Selain itu menurut Zulfikar, sebelum qanun itu disahkan telah mendapat banyak masukan dari kementrian Dalam Negeri seperti mengakomodir wilayah kelola adat, kemudian memastikan wilayah hutan lindung, namun hal itu tidak muncul dalam qanun RTRW Aceh.
“Menurut kita harus ditijau kembali termasuk masukan dari masyarakat adat terhadap wilayah kelola mereka, kalau bisa harus ada pengelolaan bersama, pemerintah memantau tapi masyarakat yang lebih banyak berperan disana, kita melihat seperti Pergub No 5 tahun 2014 tentang kawasan budidaya di KEL ini justru banyak dimanfaatkan pengusaha, sedangkan masyarakat tidak jelas,”jelasnya.
Zulfikar menambahkan dalam penyusunan qanun RTRW Aceh keterlibatan masyarakat sangat minim sehingga tidak menghasilkan sebuah aturan hukum yang dapat memuaskan semua pihak.
Selain itu menurut Zulfikar, pihak Uni Eropa telah melakukan telaah bersama terhadap qanun RTRW Aceh. Hasilnya Uni Eropa juga meminta agar pemerintah Aceh untuk melakukan revisi qanun RTRW Aceh.
Zulfikar berharap kepada gubernur Aceh untuk menyurati pimpinan DPR Aceh agar meninjau kembali qanun RTRW Aceh.