Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) melaporkan walikota sabang dan Walikota Subulussalam ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan tindak pidana Korupsi di daerah daerah itu. Pelaporan walikota Sabang dilakukan pada 18 Februari 2015, sedangkan walikota sbulussalam dilaporkan pada 27 Maret 2015.
Koordinator Bidang Monitoring Peradilan MaTA Baihaqi mengatakan Kasus indikasi korupsi yang terjadi di Sabang yang dilaporkan yaitu terkait dengan pengadaan tanah untuk komplek perumahaan guru Kota Sabang seluas 9000 m² yang terletak di Jurong Cot Dama Gampong Paya Seunara Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. Anggaran untuk pengadaan ini bersumber dari APBK Kota Sabang tahun 2012 dengan pagu anggaran sebesar Rp. 1.8 milyar yang di plotkan melalui Dinas Pendidikan Kota Sabang
“Dalam kasus ini, MaTA mensinyalir telah terjadi indikasi pemahalan harga yang berpotensi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 1.3 Milyar karena dalam pembebasannya tidak menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan setempat sebesar Rp. 20.015 per meternya. Kalau berpedoman pada NJOP, harga lahan tersebut hanya sebesar Rp. 180 juta,”ujarnya.
Baihaqi menambahkan indikasi pemahalan harga pengadaan tanah tersebut menurut analisa MaTA sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 j.o UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Olehnya karena, MaTA berharap agar pengusutan kasus ini oleh KPK dapat dipantau oleh seluruh eleman masyarakat dengan tujuan agar oknum yang terlibat benar-benar di jerat sesuai dengan hukum yang berlaku,”
MaTA berharap agar setiap pengadaan tanah oleh pemerintah dapat diawasi oleh masyarakat secara bersama. Hal itu dikarenakan dalam pengadaan tanah, rentan terjadi indikasi korupsi dengan berbagai modus, baik pemahalan harga, tidak sesuai prosedur maupun berbagai modus lainnya.
Selain kasus di Sabang, Baihaqi juga memaparkan kasus dugaan korupsi yang terjadi Kota Subulussalam. Kasus tersebut adalah kasus pemberian izin kepada salah satu perusahaan dimana lahan yang diberikan oleh pemerintah berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL).
Kasus ini sudah dilaporkan ke KPK pada 27 Maret silam, Dalam laporannya MaTA menyebutkan bahwa oknum pejabat teras di Kota Subulussalam dan oknum Pejabat di Provinsi Aceh serta oknum dari pihak perusahaan diindikasikan terlibat.
“Berdasarkan hasil perhitungan MaTA, nilai potensi kerugian perekonomian Negara yang ditimbulkan oleh pemberian izin ini mencapai Rp. 68 milyar lebih, Oleh karenanya, MaTA mendesak kepada jajaran pemerintah di Aceh, untuk segera melakukan review atas perizinan yang telah dikeluarkan selama ini,”pungkasnya.