Setidaknya ada dua alasan mendasar yang memperkuat argumentasi Pemerintah Aceh yang disampaikan oleh Zaini Abdullah dihadapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan para peserta seminar, yaitu;
Alasan pertama, karena dapat dipastikan bahwa Aceh hampir tidak punya sumber kekayaan migas di wilayah 12 mil dari garis pantai. Hal inilah yang membuat tim dari Pemerintah Aceh, sejak awal telah bersikeras menuntut agar zona kewenangan tersebut harus sampai 200 mil laut.
Pasca habisnya sumber gas PT Arun, sumber kakayaan mineral Aceh untuk kawasan laut, yang tersisa hanya ada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tersebut, yaitu 12 mil hingga 200 mil.
Alasan kedua didasari pada pertimbangan agar penerimaan bagi hasil migas Aceh bisa berjangka panjang. Hal tersebut berangkat dari hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Mineral Aceh serta hasil penelitian independen lainnya.
Hasil penelitian itu menyebutkan ada banyak kekayaan Migas Aceh yang berada hingga 200 mil dari garis pantai, termasuk sumber migas di wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Singkil dan Simeulue.
“Pada waktunya nanti kita berharap sumber kekayaan alam itu bisa dieksplorasi,” harap Zaini.
Selain itu, dengan sistem bagi hasil, Aceh juga tetap bersikikuh kalau sistem bagi hasil mengacu pada pasa 181 ayat (3) Undang-Undang Pemerintah Aceh dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, di mana 70 persen keuntungan menjadi milik Aceh, 30 persen untuk pusat. Sementara Pemerintah pusat sempat meminta sistem bagi hasil dengan rasio sebaliknya.
“Alhamdulillah, setelah adu argumen cukup panjang, pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat akhirnya mencapai titik temu dari perdebatan itu. Kami sudah mendengar kalau PP Migas telah mendapat persetujuan presiden dan tinggal pengesahan lagi. Dengan demikian, perdebatan panjang soal regulasi Migas Aceh telah selesai,” terang Gubernur.
Masalah yang kita hadapi berikutnya, lanjut Zaini, adalah bagaimana mengoptimalkan sumber daya migas yang ada di Aceh, baik yang ada di wilayah daratan maupun di kawasan lepas pantai, untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pada prinsipnya, Pemerintah Aceh setuju untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada, selama tidak merusak lingkungan dan tidak berada di kawasan yang terlindungi.
Gubernur optimis, dengan lahirnya PP Migas, maka nilai eksplorasi Migas Aceh akan terukur secara jelas dan bisa diketahui publik.
“Tidak seperti sekarang, dimana kondisinya masih abu-abu. Setiap tahun Aceh mendapat kompensasi dari sistem bagi hasil Migas, tapi kita tidak pernah tahu berapa banyak sebenarnya hasil Migas Aceh,”
Oleh karena itu gubernur berharap, perkembangan terbaru akan mampu mendorong hadirnya perubahan besar bagi usaha pertambangan Migas di Aceh, sehingga potensi Migas yang sudah ada bisa diolah hingga pada tahap produksi.
“Sejalan dengan itu, maka investasi tambang Migas di Aceh juga akan dibuka ke ruang publik. Peluang ini diharapkan akan mampu menarikminat dari banyak investor untuk berinvestasi pada sektor pertambangan di Aceh,” pungkas Zaini Abdullah.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Sudirman Said, Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, Rektor dan Para guru besar Universitas Syiah Kuala, Anggota DPR Aceh serta unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah.
Hadir pula anggota DPD-RI, Rafly. Musisi Aceh yang kini telah duduk sebagai senator mewakili Aceh itu hadir bersama M Nasir Djamil, politisi yang telah tiga kali terpilih sebagai anggota DPR-RI.