Secara persentase jumlah penderita penyakit gangguan jiwa di provinsi Aceh merupakan yang tertinggi di Indonesia, hal itu bedasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 yang baru saja dipublikasi oleh Kementrian Kesehatan.
Hal demikian dikatakan Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ ) Banda Aceh Amren Rahim disela-sela pertemuan dengan delegasi dari Norwegia di DPR Aceh Selasa (18/02/2014).
Amren mengatakan pravelensi gangguan jiwa di Aceh mencapai 2, 7 persen dari jumlah penduduk, namun menurutnya tidak semua menderita gangguan jiwa berat karena termasuk didalamnya gangguan neurosis, banyak faktor yang menyebabkan tingginya gangguan jiwa di provinsi Aceh seperti faktor bawaan, faktor sosial, pengaruh faktor konflik dan faktor bencana.
“Hasil Riskesdas itu menujukkan Aceh dan Yokyakrta paling tinggi kasus gangguan jiwanya”ujarnya.
Amren menambahkan untuk mengurangi orang ganguan di Aceh perlu keterlibatan semua pihak, tidak hanya rumah sakit jiwa, bisa juga ditangani melalui rumah singgah khususnya untuk mengembalikan harga diri penderita gangguan jiwa sehingga bisa kembali ke lingkungan masyarakat.
Sementara itu delegasi Norwegia Prof. Arild Granerud mengatakan pelayanan rumah sakit jiwa di Aceh sudah mulai memabaik, namun perlu difikirkan kembali agar pasien dalam satu ruangan tidak terlalu banyak sehingga proses pemulihannya bisa lebih cepat, ia mencontohkan di Norwegia satu ruang di rumah sakit jiwa dihuni 7 sampai 15 pasien, menurutnya jumlah ideal satu ruangan adalah 20 pasien, dan setiap pasien memiliki kamar pribadi.
“Kita harus memandang dia sama dengan manusia lain, karena hal ini akan mempercepat kesembuhannya dan perbedaan Aceh dengan Norwegia, kalau kami di Norwegia staf rumah sakit dan pasien jiwa berpakaian bebas, kalau disini seragam, sebenarnya itu tidak baik juga”ujarnya.
Arild menambahkan penanganan terhadap pasien gangguan jiwa harus dilakukan secara cepat dan bagus sehingga sipasien tidak harus terlalu lama di rumah sakit, pasalnya semakin lama pasien dirumah sakit justru akan menambah derita gangguan jiwa si pasien dan si pasien akan lupa cara bergaul dengan dunia sosial.
Arild menyebutkan pihak rumah sakit juga harus berupaya menyediakan tempat yang memadai untuk aktifitas pasien gangguan jiwa, hal itu dipandang bisa menumbuhkan kepercaayaan diri pasien.