Pembangunan infrastruktur di Aceh, terutama jalan masih belum terencana dengan baik, membuat pertumbuhan ekonomi di Aceh berjalan lamban. Hal itu mencuat dalam diskusi publik membahas hasil analisis Anggaran Aceh 2011 bidang infrastruktur.
Diskusi yang dihadiri oleh akademisi, perwakilan Pemerintah Aceh dan aktivis difasilitasi oleh tim PECAPP (Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program), bagian dari program CPAC – Bank Dunia dengan pendanaan AusAid,
Peneliti Senior PECAPP, Teuku Triansa Putra memaparkan hasil kajiannya tentang infrastruktur di Aceh tahun 2011, dengan fokus pada pembangunan jalan. Dari kajian, banyak terdapat perencanaan yang kurang tepat dengan kebutuhan masyarakat. “Sehingga pembangunan infrastruktur jalan belum menunjang pertumbuhan ekonomi di Aceh,” ujarnya.
Triansa mencontohkan, jalan dan jembatan merupakan prioritas pembangunan infrastruktur tahun 2011, dengan porsi sebesar 49 persen dari total belanja bidang Bina Marga Cipta Karya tahun tersebut, sebesar Rp 1,2 triliun. Sementara biaya pemeliharaan jalan mendapat porsi kecil, hanya 9 persen. “Biaya pemeliharaan berada di bawah rata-rata nasional, 12 persen,” katanya.
PECAPP juga menilai, pembangunan jalan di kabupaten/kota di Aceh belum sesuai kebutuhan dan prioritas. Misalnya di Aceh Jaya, yang memiliki kondisi jalan terburuk (data 2010), mendapat kucuran dana Otsus 2011 sebesar Rp 37 miliar untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan.
Sementara Aceh Barat yang sudah memiliki jalan dengan kondisi baik sebesar 22 persen, juga mendapat kucuran dana Otsus pembangunan dan pemeliharaan jalan dengan jumlah sama. “Harusnya Pemerintah Aceh melihat prioritas pengalokasian dana sesuai dengan kebutuhan serta memeprtimbangkan kesenjangan sarana jalan antar daerah.”
Kebanyakan daerah di sepanjang pantai barat dan daerah tengah Aceh memiliki sarana infrastruktur yang masih sangat rendah. Pada tahun 2010, tercatat lebih dari 90 persen kondisi jalan kabupaten Nagan Raya dan Aceh Jaya dalam keadaan rusak. Aceh Tengah dan Gayo Lues juga memiliki lebih dari 50 persen jalan kabupaten dalam kondisi rusak. Sementara sebagian besar daerah di sepanjang pantai timur Aceh, seperti Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara memiliki kondisi jalan kabupaten yang lebih baik, hanya sekitar 30 persen jalan kabupaten dalam kondisi rusak. Hal ini hendaknya menjadi salah satu pertimbangan perencanaan pembangunan infrastruktur bagi pemerintah provinsi,
Sesuai data PECAPP, Triansa menilai perencanaan pembangunan jalan kabupaten yang menggunakan dana otsus dapat lebih ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah. ”untuk akses yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang merata,” ujarnya.
Triansa juga menekankan bahwa kebutuhan terhadap perencanaan pembangunan jalan yang terintegrasi dengan menggunakan indikator tertentu seperti potensi pertumbuhan ekonomi, kepadatan populasi serta cakupan wilayah seharusnya menjadi semakin penting, melihat besaran jumlah alokasi infrastuktur yang dikucurkan pada masa mendatang. Tanpa perencanaan yang matang, dapat dipastikan pembangunan jalan tidak akan menghasilkan daya ledak yang besar terhadap pembangunan Aceh.
Sementara itu, Munthadar Abdul Fatah mewakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh (Bapedda) menilai pembangunan jalan di Aceh selama ini sudah sesuai kebutuhan. Pembangunan bidang infrastruktur yang terintegrasi merupakan prioritas dari pemerintah Aceh.
Menurutnya, dalam perkembangan ekonomi Aceh ke depan, dibutuhkan suatu jalan yang bisa meningkatkan aksesibilitas dan konektifitas yang cepat dan efektif menuju pusat-pusat distribusi (pelabuhan). Misalnya jalan dari Blangkejeren (Gayo Lues) ke Peurelak (Aceh Timur), akan membantu akses hasil perkebunan ke Pelabuhan Langsa. “Harapannya, pertumbuhan ekonomi Aceh ke depan meningkat,” kata Munthadar