Mendagri Harus Batalkan Anggaran Untuk Rehab Rumah Petinggi Polda Aceh

Gerakan Respon Hukum Cepat (GRHC) berencana akan melaporkan Kapolda Aceh ke Depdagri atas penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tahun 2013. Pelaporan ini dilakukan setelah adanya fakta temuan terhadap pengusulan alokasi anggaran untuk dana rehab rumah yang diberikan baik untuk Kapolda dan Wakapolda Aceh. Dengan rincian yaitu untuk rehab rumah Kapolda sebesar Rp. 3 miliar, sedangkan untuk rehab rumah Wakapolda berjumlah Rp. 1,3 M, total dana yang diglondongkan lewat Dinas Bina Marga berjumlah sebesar Rp. 4,3 Milyar.

“Legislatif tidak perlu mengalokasikan anggaran untuk instansi vertikal, tindakan itu melanggar hukum,” jelas Hospinovrizal Sabri SH, Direktur LBH Banda Aceh, 13/02/2013.

Sedikitnya enam dasar hukum yang dilanggar legislatif, yakni Permendagri No.13 tahun 2006 dan Permendagri No. 32 tahun 2008. Selain itu, PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan, UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, serta Kepres No.70 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI.

Aspek legal yang dilanggar tersebut, memungkinkan untuk digugat keranah hukum, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pihak yang membahas anggaran harus bertanggungjawab terhadap pengusulan yang dilakukan oleh Dinas Cipta Karya. Jika ini tetap dilanjutkan maka LBH, Kontras dan GeRAK Aceh sebagai koalisi yang tergabung dalam GRHC akan melakukan gugatan ke pengadilan. Jelas sekali bahwa penggunaan dana APBA untuk instansi vertikal telah menyebabkan pengurangan kepada hak institusional publik, jadi penggunaan anggaran secara serta merta seperti ini adalah sesuatu yang tidak baik dan melanggar hukum.

Sementara Menurut Askhalani SHI, Koordinator GeRAK Aceh, pengalokasian anggaran untuk instansi vertikal khususnya untuk bantuan rehab rumah Kapolda dan Wakapolda dalam APBA 2013 adalah prilaku yang tidak lazim dalam penganggaran. Hal ini diyakini bahwa Dinas Cipta Karya Aceh memiliki kepentingan besar atas pengusulan anggaran ini, seperti dalam hal kepentingan untuk tidak membuka kasus-kasus korupsi yang melanda di Dinas Cipta Karya Aceh. “pengalokasian ini memiliki kepentingan barter untuk menutupi kasus korupsi ditubuh dinas tersebut, jadi Gubernur Aceh selaku Pengguna Anggaran harus membatalkan anggaran tersebut ” tegas Askhalani.

Berdasarkan hasil analisa dan kajian terhadap APBK tahun 2011 yang dilakukan oleh Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, dan GeRAK Aceh untuk wilayah Pidie, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Tengah dan Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat ditemukan pengalokasian anggaran untuk instansi vertikal yang meliputi pengalokasian dana langsung baik untuk TNI, Polisi dan Kominda dengan komposisi jumlah belanja yang masih besar.

Beberapa pos anggaran yang diberikan secara langsung kepada institusi tersebut meliputi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, pengawasan lalulintas, bantuan dana biaya perjalanan dinas, belanja BBM, belanja makan minum dan honorarium tidak tetap baik kepada TNI, Polisi dan Kominda.

Sementara Destika Gilang Lestari,  selaku Koordinator KontraS Aceh, menyebutkan pemberian anggaran untuk instansi vertikal erat kepentingan politik, dan legislatif tidak memahami kepentingan masyarakat.

“Aceh baru keluar dari konflik, penggaran untuk instansi vertikal jelas melukai kepentingan mayoritas masyarakat korban yang harusnya menjadi perhatian prioritas,” kata Gilang.

GRHC mensinyalir bahwa akan ada komitmen politik yang diperankan oleh anggota legislatif dan eksekutif yang cendrung melegalkan untuk pemberian dana bagi instansi vertikal secara terus menerus dan bahkan ada yang sudah menjadi “tradisi” untuk menyetor dana tersebut setiap tahun.

Hasil audit BPK-RI dapat dipastikan bahwa akan sering muncul opini terjadinya indikasi pelanggaran hukum atas dana-dana yang dikelola oleh instansi vertikal. Laporan pertanggungjawaban atas anggaran yang telah dikelola rata-rata tidak dipertanggungjawabkan secara ideal sehingga pada akhir transaksi tahun berjalan ini menjadi temuan yang membebankan eksekutif dan legislatif dalam pertanggungjawaban anggaran yang dikelola. Pemberian anggaran yang berasal dari APBK akan terjadi double fund dengan anggaran yang berasal dari APBN, sebab secara aturan hukum instansi vertikal ini mempunyai anggaran yang berdiri sendiri dan berasal dari APBN.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads