Meski Pembentukan Qanun Wali Nanggroe menuai aksi kecaman dari sejumlah pihak, namun pembentukan lembaga wali nanggroe melalui qanun yang rancangannya kini sedang dibahas di DPR Aceh, merupakan perintah undang-undang yang tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Masyarakat diminta berkontribusi dalam penyusunan Qanun tersebut.
Hal itu disampaikan Daud Yusuf, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Syiah Kuala pada Diskusi public Kritisme, Demokrasi Qanun Wali Nanggroe, Selasa (25/01) di Banda Aceh, selain itu hadir juga Safrizal Ibrahim mantan anggota perumus Qanun Wali Nanggroe DPRA periode 2004-2009 dan Fakhrurazi sebagai Direktur Institut Perdamaian Aceh.
Menurut Daud Yusuf terjadinya kontroversial dalam raqan tersebut, karena ada sejumlah pasal di dalamnya yang dianggap belum sesuai atau juga sudah melewati batas dari kewenangan seorang wali nanggroe.
“Misalnya kewenangan Wali Nanggroe yang bisa membubarkan parlemen, tentu ini tidak sesuai dengan paham Negara kita, yang menganut Republik bukan Parlementer” ujarnya.
Daud menambahkan lembaga wali nanggroe bukan lembaga politik. Namun, di dalam raqan masih terdapat pasal yang mengesankan lembaga tersebut masuk dalam wilayah politik.
Sementara itu, Fakhrurazi menyebutkan, selama ini aksi penolakan dari masyarakat karena tak sesuainya sejumlah pasal dalam raqan tersebut, baru terlihat di kalangan masyarakat. Padahal, seharusnya anggota DPRA yang terlibat membahas raqan itu, menolak jika ada pasal yang bertentangan dengan UUPA.
“Kita minta kepada DPRA agar menerima masukan-masukan dari masyarakat dalam penyusunan Qanun Wali Nanggroe agar tidak terjadi polemic dikemudian hari dalam masyarakat” jelasnya.
Sementara Safrizal Ibrahim menyatakan Qanun tersebut Berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya pasal 96 UU tersebut antara lain menyebutkan bahwa lembaga Wali Nanggroe itu merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara lainnya.
Karena itu, sebutnya dalam penyusunan draf Raqan Wali Nangroe yang baru nanti, yang merupakan inisiatif dewan, hendaknya mampu memenuhi tuntutan Kelembagaan Wali Nanggroe sebagaimana diinginkan masyarakat Aceh.
“Artinya, Wali Nanggroe itu jangan hanya difokuskan kepada seseorang yang akan diangkat menjadi Wali Nanggroe, tapi kelembagaan dan statusnya harus jelas dan tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada,” demikian Safrizal.