Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendorong agar pemerintah segera memprioritaskan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan dari Penghilangan Paksa.
Kontras Aceh meminta Presiden SBY memprioritaskan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa yang mulai diberlakukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 23 Desember 2010. Karenanya, Kontras juga menginginkan agar Presiden memaksimalkan peran Kementerian Hukum dan HAM untuk menyiapkan naskah akademik sebagai bahan awal proses ratifikasi.
Hendra Fadhli Koodinator Kontras Aceh mendesak agar Komnas HAM harus mengambil inisiatif untuk memuluskan proses ratifikasi dan juga tidak menghambat partisipasi masyarakat sipil secara lebih luas.
“Pemberlakuan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa mulai diberlakukan PBB setelah Irak menjadi negara ke-20 yang meratifikasi konvensi itu pada 23 November 2010,”ujar Hendra.
Sebagaimana diketahui, konvensi internasional PBB otomatis akan segera berlaku satu bulan setelah terdapat 20 negara yang meratifikasi konvensi itu. Dengan demikian, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa praktis akan mulai diberlakukan pada 23 Desember 2010.
Kontras menilai, Indonesia penting untuk meratifikasi konvensi tersebut mengingat terdapat sejarah panjang praktik penghilangan paksa, antara lain kasus 1965-1966, kasus Penembakan Misterius 1981-1983, kasus Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari 1989, dan kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998.
Selain itu, ratifikasi akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat agar tidak menjadi korban penghilangan paksa, mencegah keberulangan praktik penghilangan paksa, serta sekaligus sebagai bentuk pengakuan bahwa praktik penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat serius.