Praktek suap dan pungutan liar (pungli) mendominasi layanan publik di institusi lembaga hukum, pemerintah daerah, dan sektor pendidikan dalam laporan pengaduan di Ombudsman Republik Indonesia sepanjang 2016 ini.
Komisioner Ombusdman RI Alamsyah Saragih mengatakan berdasarkan data dari laporan yang diterima Ombudsman sektor penegakan hukum kepolisian paling tinggi terindikasi penundaan berlarut, 51 persen. “Suap atau pungli itu biasanya ditandai dengan adanya penundaan berlarut dan pelanggaran prosedur,” ujarnya kepada Tempo, Ahad, 16 Oktober 2016.
Dalam laporan itu juga terungkap suap dan pungli paling banyak di sektor pendidikan mencapai 45 persen. “Ini sejalan setiap kali penerimaan siswa baru isu pungli dan suap begitu marak,” kata Alamsyah.
Terkait dengan laporan suap dan pungli di sejumlah lembaga negara itu, Ombusdman menyimpulkan modus yang paling banyak digunakan adalah penundaan berlarut dan pelanggaran prosedur (maladministrasi).
Sejak Januari-September 2016, Ombusdman menerima banyak laporan terkait dengan suap dan pungli pada layanan publik di sejumlah lembaga pemerintahan dan berbagai sektor. Laporan dugaan maladministrasi berdasarkan sektor paling banyak terjadi di sektor penegakan hukum (51 persen), sektor kepegawaian dalam bentuk penundaan berlarut dengan jumlah 11 laporan per hari, sektor kepegawaian sebesar 42 persen melanggar prosedur dengan rata-rata empat laporan setiap harinya. Sedangkan sektor pendidikan paling banyak praktek suap dan pungli (45 persen) dengan dua laporan per hari.
Laporan maladministrasi berdasarkan institusi, kepolisian (45 persen) dalam bentuk penundaan berlarut dengan 11 laporan per hari, institusi pemerintahan 42 persen dalam bentuk kesalahan prosedur sebanyak lima laporan per hari dan praktek suap dan pungli di instansi pemerintah daerah (53 persen) dengan rata-rata dua laporan setiap harinya.
Terkait dengan tingginya laporan suap dan pungli pada layanan publik ini, Alamsyah mengatakan pemberantasan pungli harus sistemik, tidak cukup dengan terapi kejut. Menurut dia, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan internal dan penanganan pengaduan, memperkuat inspektorat dengan dukungan anggaran dan personel yang memadai, bukan sebagai tempat buangan. “Dapat dipertimbangkan apakah inspektorat perlu dikeluarkan dari kementerian dan pemda.”
Inspektorat jenderal, menurut Alamsyah, bisa langsung di bawah presiden dan penanganan aduan harus dengan batas waktu yang pasti.
Bagi Ombudsman, kata Alamsyah, jika perkembangan data laporan dengan dugaan suap, pungli dan penundaan berlarut yang masuk ke Ombudsman tak berkurang tahun depan, dapat diartikan bahwa satuan tugas sapu bersih pungutan liar bentukan Presiden Joko Widodo telah gagal menjalankan tugasnya.
TEMPO