Pemerintah Aceh dan Kepolisian Paling Banyak Dilaporkan ke Ombudsman

Lembaga Ombudsman RI Perwakilan Aceh sepanjang tahun 2015 menerima sebanyak 175 kasus pengaduan buruk pelayanan publik oleh instansi pemerintah di provinsi itu. Jumlah itu sedikit menurun dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 198 pengaduan dan tahun 2013 yang hanya 105 kasus.

Kepala Perwakilan (Kaper) Ombudsman RI Aceh, Dr Taqwaddin Husin menjelaskan, pada tahun 2015 pemerintah kabupaten/kota masih menjadi penyelenggara pelayanan publik yang paling banyak mendapatkan pengaduan, yaitu sebanyak 88 kasus. Kota Banda Aceh paling sering menjadi terlapor dengan 13 aduan, disusul Kabupaten Aceh Selatan dan Pidie masing-masing 10 aduan, Bireuen 9 aduan, Aceh Besar 8 aduan. Selanjutnya Kota Lhokseumawe dan Nagan Raya masing-masing 6 aduan, Kota Langsa dan Aceh Timur 5 aduan.

“Statistik tersebut tidak berarti mencerminkan kinerja yang buruk untuk daerah yang paling banyak diadukan dan kinerja baik untuk yang paling sedikit diadukan. Banyaknya pengaduan terhadap Pemko Banda Aceh lebih karena akses dan jarak ke Kantor Ombudsman cukup dekat dan mudah dijangkau,” ujar Taqwaddin Husin kepada wartawan pada “Ngopi Sore Bersama Ombudsman RI Perwakilan Aceh; Refleksi 2015 dan Proyeksi 2016” di sebuah warung kopi Banda Aceh, Selasa (5/1).

Ia mengungkapkan, sebaran pengaduan terhadap kabupaten/kota sudah menunjukkan peningkatan kualitas dari partisipasi masyarakat dibanding tahun 2014. “Tahun lalu, laporan terhadap Kota Banda Aceh dominan sekali, dan sangat timpang dengan kabupaten/kota lainnya,” jelas Taqwaddin Husin.

Tahun 2015, khusus Pemerintah Aceh mendapat laporan pengaduan buruknya pelayanan publik sebanyak 25 kasus. Pengaduan tersebut, selain Gubernur/Sekda sebagai terlapor juga tersebar ke beberapa SKPA, seperti Dinas Syariat Islam, Dishubkomintel, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Bina Marga dan Dinas Kesehatan serta beberapa dinas lainnya

Selanjutnya dari lembaga/instansi vertikal, kepolisian mendapat 9 laporan, Kementerian Agama (6), Kejaksaan (2), Kemenkumham (2) dan BPN satu pengaduan. “Itu akumulasi untuk instansi vertikal seluruh Aceh,” terang Taqwaddin didampingi Asisten Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Ayu Parmawati dan M.Fadhil Rahmi. Untuk BUMN/BUMD sebanyak 22 aduan didominasi kinerja PDAM Tirta Daroy Banda Aceh 5 aduan, BPJS Kesehatan 3 aduan, PLN 3 aduan, dan Telkom 3 aduan.

Taqwaddin menambahkan, dari 175 laporan pengaduan yang diterima Ombudsman RI Perwakilan Aceh pada 2015, substansi aduan terbesar ada pada masalah kepegawaian sebanyak 47 kasus, disusul perhubungan/infrastruktur 20 kasus, 18 kasus pelayanan kesehatan, pendidikan 17 kasus, pertanahan 9 kasus, dan administrasi kependudukan 8 kasus. “Masih seperti tahun lalu, penanganan kasus kepegawaian dominan, termasuk masalah honorer K-2 yang insya Allah akan tetap kita tangani pada 2016. Langkah kita sudah sampai ke DPR,” katanya.

Untuk jenis maladministrasi (prilaku buruk) yang dilaporkan, dugaan penyimpangan prosedur di rangking teratas dengan 43 laporan, menyusul penundaan berlarut 35 laporan, tidak patut 34 laporan, tidak melayani 29 laporan, diskriminasi 11 laporan, permintaan imbalan uang, barang dan jasa 9 laporan, penyalahgunaan wewenang 8 laporan, tidak kompeten 5 laporan dan konflik kepentingan 1 laporan.

“Angka-angka ini menegaskan, wajah pelayanan birokrasi di Aceh belum baik, masih banyak yang suka menyimpang dan menunda-nunda urusan serta tidak melayani dengan baik dan prosedural. Artinya belum hilang pameo, “Kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah”. Ini yang ditemukan oleh masyarakat saat berurusan dengan pemerintah,” sesal Taqwaddin.

Terkait kendala, menurutnya keberadaan Ombudsman RI yang belum dikenal secara massif menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini mungkin disebabkan beberapa hal seperti nama yang masih asing, SDM yang terbatas dan belum menjadi incaran media serta belum mempunyai perwakilan di kabupaten/kota.(Analisa)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads