Gubernur Zaini Abdullah mengharapkan perjalanan 10 tahun perdamaian Aceh pada 15 Agustus ini dapat menjadi pembelajaran bagi penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian di berbagai wilayah dunia.
“Tentu tidak terlalu berlebihan jika saya mengatakan bahwa perdamaian yang berlangsung 10 tahun di Aceh telah memberi banyak inspirasi bagi penyelesaian konflik di berbagai belahan dunia,” ujar Zaini Abdullah pada pembukaan Simposium Internasional Perdamaian Aceh atas prakarsa Aceh Peace Forum di Restoran Pendopo Gubernur Aceh, Selasa (11/8) malam.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut, Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud, mantan Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), Peter Feith, tokoh perdamaian Aceh, Juha Christensen dan Hamid Awaluddin, Rektor Unsyiah Prof.Dr.Samsul Rizal, M.Eg, mantan Gubernur Aceh, Azwar Abubakar, pimpinan DPRA dan tamu undangan dari dalam dan luar negeri.
Menurut Zaini, sudah tidak terhitung berapa banyak peneliti asing yang melakukan penelitian tentang transformasi politik yang berlangsung di Aceh selama 10 tahun ini. Banyak utusan berbagai negara yang datang ke Aceh untuk belajar dari pengalaman Aceh membangun perdamaian ini. Tidak heran jika ada anggapan kalau Aceh adalah laboratorium politik bagi proses damai di wilayah konflik.
Keberhasikan ini pula yang menjadi salah satu alasan sehingga mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari mediator perundingan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, mendapat anugerah Nobel Perdamaian tahun 2008. Fakta-fakta ini menjadi bukti perdamaian Aceh tidak hanya isu yang hangat dibahas di Indonesia, tapi juga mendapat perhatian dari dunia internasional.
Zaini menyebutkan, dari kebehasilan Aceh merawat perdamaian selama 10 tahun ini, tentu ada banyak pengalaman berharga yang patut dipelajari untuk digunakan sebagai acuan dalam membangun perdamaian di wilayah konflik. Dalam pandangan Zaini, paling tidak ada lima poin penting yang layak dipelajari dari pengalaman Aceh membangun perdamaian.
Pertama, strategi membangun dialog yang konstruktif selama berlangsungnya perundingan damai. “Saya kira inilah kunci utama keberhasilan kita merumuskan perdamaian Aceh, yaitu niat yang kuat dari dua pihak untuk mencari penyelesaian terbaik bagi Aceh. Selama berlangsung dialog, tidak ada niat untuk saling menaklukkan, untuk mendominasi atau untuk menyalahkan. Yang menonjol adalah niat untuk saling mencari solusi. Karena niat ini sehingga solusi bisa dicapai dengan ditandatanganinya perjanjian damai pada 15 Agustus 10 tahun silam,” ungkapnya.
Kedua, pentingnya menyusun naskah perjanjian damai yang konkrit diikuti komitmen yang kuat untuk menjalannya. Penjanjian yang konkrit ini menjadi kunci sukses mengawal proses damai Aceh, sehingga semuanya menjadi jelas. Boleh dikatakan tidak ada wilayah abu-abu dari perdamaian itu. Semuanya disertai data-data yang jelas.
Misalnya, kalau ada senjata yang dihancurkan, maka jumlahnya harus jelas. Kalau ada kompensasi yang harus diberikan, nilainya juga harus jelas. Kalau ada larangan-larangan yang harus dipatuhi, rambu-rambunya juga harus jelas. Dengan kejelasan ini, maka proses damai berlangsung akan mudah untuk diukur.
Ketiga, pentingnya peran lembaga monitoring yang independen untuk mengawal proses damai yang berlangsung. Di Aceh, ada Aceh Monitoring Mission (AMM) dipimin oleh Peter Feith, yang anggotanya orang-orang berpengalaman dari berbagai negara. Lembaga ini punya pengaruh yang kuat dalam mendorong suksesnya proses damai Aceh, sehingga janji-janji yang disepakati, akhirnya dapat terlaksana di lapangan.
Keempat, isu transformasi Aceh dari wilayah konflik ke wilayah yang damai menjadi salah satu daya tarik bagi peneliti untuk melihat progres perdamaian di wilayah ini. Yang dibahas tidak hanya transformasi para mantan gerilyawan Aceh yang banyak beralih menjadi politisi, tapi juga tansformasi di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Isu transformasi sosial ini sangat banyak memberi pelajaran berharga bagi siapa pun yang ingin mempelajari ilmu tentang konflik.
Kelima, semangat dan kemauan bersama untuk maju. Seperti kata pepatah, tidak ada perdamaian tanpa pembangunan. Perdamaian tidak hanya sebatas menghentikan perang, tapi juga memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Kajian tentang ini tentu angat menarik untuk dibahas, sehingga bisa dilihat bagaimana relasi antara perdamaian dan pembangunan di daerah ini.
Salah seorang fasilitator perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia, Juha Christensen, berharap pemerintahan di Aceh bersih dan profesional sehingga provinsi itu maju. “Harapan untuk Aceh, pemerintahan yang bersih dan profesional supaya Aceh bisa bangun kembali semua wilayah,” ujarnya.
Juha melanjutkan, biasanya daerah yang terjadi konflik pasti akan mengalami ketertinggalan. Kendati begitu, daerah tersebut harus tetap berjuang untuk maju. “Semua wilayah kalau ada konflik pasti tertinggal, itu artinya kita harus kejar kembali,” ungkapnya.
Juha berharap agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh bisa bekerja secara profesional supaya bisa membangun Aceh kembali menjadi lebih baik. “Harus ada pemerintah bersih dan profesional untuk bisa membangun Aceh kembali,” harapnya.(analisa)