Maraknya berbagai kasus pembunuhan dan kejahatan yang terjadi di Aceh akhir-akhir telah mengakibatkan nyawa manusia yang sangat bernilai di sisi Allah, kini seolah tidak dihargai lagi.
Karenanya, untuk melindungi kehidupan dan nyawa manusia yang sangat mahal harganya, Provinsi Aceh yang telah berwenang menjalankan aturan syariat Islam dinilai sudah selayaknya menerapkan aturan hukum qishash yaitu hukuman hudud dibunuh lagi bagi para pelaku pembunuhan atau menghukum dengan balasan setimpal terhadap satu kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia terhadap manusia lainnya.
Karenanya, pasal yang mengatur hukum tentang qishash ini perlu dimasukkan lagi dalam Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, sehingga implementasi qanun tersebut tidak hanya berisi tentang urusan syahwat seperti khalwat, zina, homoseksual dan lesbian.
Pernyataan itu disampaikan Staf Pengajar UIN Ar-Raniry, Dr. H. Badrul Munir Lc, MA saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (15/4) malam.
“Aceh yang bersyariat Islam harus kembali jadi pioner implementasi hukum qishash ini. Jika kita telah membuat sejarah melahirkan qanun jinayah sebagai hukum Islam, maka kita ke depan harus bisa menciptakan sejarah lagi untuk memasukkan pasal tentang qishash dalam qanun hukum jinayah,” ujar Dr. Badrul Munir.
Pada pengajian yang dimoderatori Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh, Ustaz Fadhil Rahmi Lc dengan tema “Qishash Melindungi Kehidupan”, juga disebutkan kini saatnya yang tepat bagi Aceh untuk memberlakukan aturan qishash dengan meminta pendapat dari ulama.
Keinginan ini juga perlu disambut baik oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sehingga dengan dukungan pihak berwenang hal ini bisa lebih cepat terwujud.
Apalagi perintah dan kewajiban bagi umat Islam menjalankan hukuman qishash ini sebagai syariat secara jelas telah ditegaskan dalam Al-qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan qishash atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Dr. Badrul Munir yang juga Dosen LIPIA Banda Aceh ini menyebutkan, pihaknya merasa yakin dan optimis hukum qishash ini bisa lebih mudah dijalankan ketimbang hukum potong tangan bagi pencuri/koruptor atau rajam bagi pelaku zina yang masih banyak ditentang oleh berbagai kalangan termasuk pembela HAM.
“Qishash lebih ringan dari pada hudud potong tangan koruptor atau rajam. Tidak ada alasan yang bisa menghambat pelaksanaan qishash sebagai bentuk keadilan dalam Islam untuk melindungi kehidupan. Apalagi keluarga korban pembunuhan pasti sangat mendukung syariat Allah ini sabagai balasan setimpal. Bisa juga nanti dalam pelaksanaannya dimaafkan oleh pihak keluarga dengan pembayarat diyat, sehingga bisa menggugurkan hukum qishash” ungkapnya.
Ketua Divisi Litbang IKAT Aceh ini menambahkan, umat perlu ragu menjalankan hukuman qishash ini.
Bahkan, di negara-negara non muslim sekalipun saat ini masih menjalankan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tertentu termasuk pelaku pembunuhan. Seperti halnya di Amerika Serikat, saat ini ada 32 negara bagian yang menerapkan hukuman mati termasuk Texas, Virginia dan Oklahoma. Hanya 18 negara bagian yang tidak ada
“Saat seseorang dibunuh tanpa hak, maka disitu jelas-jelas telah dilanggar hak Allah sebagai pemilik nyawa dan tidak boleh ada seorang makhluk pun yang boleh mengambil hak Allah itu.
Berpijak pada dalil Al-qur’an dan hadits secara realita yang terjadi di masyarakat dapat dijelaskan beberapa hikmah penetapan hukum qishash diantaranya : memberikan penghargaan tinggi terhadap status dan martabat manusia, memberikan perlindungan atas hak hidup, pelajar kepada manusia untk tidak mempermainkan nyawa manusia, memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, melindungi jiwa dan raga,timbulnya ketertiban, dan keamanan dan upaya mewujudkan harmoni dan stabilitas sosial dgn rendahnya tingkat kejahatan.
Sementara Anggota Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Bardan Sahidi yang turut hadir pada pengajian KWPSI ini menyatakan, pihaknya mendukung penuh masuknya pasal tentang qishash dalam Qanun Hukum Jinayah.
Menurutnya, pasal tersebut bisa masuk pada perubahan pertama Qanun Hukum Jinayah, bisa diusulkan oleh eksekutif Pemerintah Aceh maupun usul inisiatif DPRA.
“Saat perubahan pertama qanun hukum jinayah bisa masuk pasal qishash. Jika ini bisa kita lakukan, merupakan suatu lompatan sejarah besar yang dilakukan. Kenapa kita masih malu-malu untuk menjalankan hukum Islam. Ini juga perlu dukungan dari Anggota Dewan lainnya, dan fraksi-fraksi besar di DPRA,” harapnya.