Masa pemerintahan pasangan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf hampir memasuki tahun ketiga, namun peningkatan kesejahteraan rakyat yang dijanjikan belum juga terwujud. Pasangan itu dituding gagal.
Demikian antara lain bunyi catatan akhir tahun 2014 Forum Anti-Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA) yang disampaikan Koordinator Badan Pekerja LSM antikorupsi itu, Indra P Keumala, Senin (29/12) di Banda Aceh.
Indra mengatakan, berdasarkan data BPS penduduk miskin di Aceh pada kuartal pertama 2014 tercatat sebesar 18,05 persen, meningkat 0,45 persen dibandingkan dengan Maret 2013 yaitu sebesar 17,60 persen. Menurutnya, hal itu terjadi akibat potensi anggaran besar yang dimiliki tidak mampu dikelola jajaran Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
“Kemiskinan membengkak di tengah situasi anggaran yang terus meningkat. Ini bukti bahwa instrumen pemerintahan di Aceh kinerjanya sangat buruk alias tidak mampu merumuskan strategi dan program-program pembangunan yang pro-rakyat,” ujar Indra.
Diungkapkannya, ketersediaan anggaran dalam jumlah besar yang dimiliki Aceh tidak sebanding dengan hasil pencapaian dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2013 misalnya, Aceh memperoleh porsi anggaran sebesar Rp 11,8 triliun, kemudian mengalami peningkatan drastis di 2014 yang mencapai Rp40 triliun.
Sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah Aceh untuk tidak mengakui kegagalannya mengelola segenap potensi anggaran yang dimiliki untuk penyejahteraan rakyat. Selain itu, sebut Indra, ketidakmampuan tersebut menunjukkan bahwa struktur SKPA lebih dominan diisi oleh sosok yang sama sekali tidak kredible.
“Banyak sosok yang sebelumnya punya catatan buruk malah oleh Zaini-Muzakkir dipilih menjadi kepala SKPA. Jadi tidak heran kalau saat ini para pejabat tersebut kerjanya cuma bisa memperkaya diri, membuka akses hanya pada jaringan keluarga dan kemampuan merancang program atau kegiatan yang hanya menghambur-hamburkan anggaran,” tuding Indra.
Tudingan tersebut, terang Indra, merupakan fakta yang sudah terjadi sejak Zaini-Muzakkir dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Disebutkannya, hampir semua formasi tenaga kontrak yang ada di setiap SKPA diisi oleh jaringan keluarga dan hampir seluruh kepala SKPA yang saat ini menjabat merupakan sosok bermasalah di jabatan sebelumnya.
Fakta konkritnya, Aceh dianugerahi sebagai provinsi kedua terkorup di Indonesia. ‘Prestasi’ ini mengulangi apa yang pernah terjadi saat Abdullah Puteh berkuasa. “Sekarang situasinya jauh lebih parah, karena di pemerintahan Zaini-Muzakkir banyak pejabat yang terindikasi mengelola proyek,” tudingnya.
Indra menyebutkan, pada tahun 2014 ini pihaknya juga menghimpun informasi terjadinya indikasi korupsi secara massive pada sektor pertanian dan biaya perjalanan dinas. Untuk sektor perjalanan dinas, pihaknya bahkan menemukan sinyalemen potensi kerugian keuangan negara mencapai miliaran rupiah yang terjadi di beberapa SKPA.
“Di akhir masa anggaran ini, banyak pimpinan SKPA yang mengorganisir para pegawai dan stafnya untuk melakukan perjalanan dinas tanpa tujuan dan manfaatnya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menghabiskan anggaran,” jelasnya.
Indra mengatakan, jika terus dibiarkan berlarut-larut maka seluruh persoalan yang terjadi itu berpotensi akan semakin bertambah parah. Sayangnya, hingga saat ini tidak terlihat niat baik melakukan upaya perbaikan tersebut. “Problem lainnya, peran pengawasan yang dijalankan DPRA, untuk setidak-tidaknya merespon kecenderungan yang terjadi itu, juga tidak terlihat. Jika terus dibiarkan, maka kondisi demikian jelas akan semakin merugikan rakyat,” katanya.
Tahun 2014 ditutup dengan sederet masalah yang tak kunjung dibenahi. Untuk itu, Indra berharap agar Gubernur dan Wakil Gubernur dapat bereaksi cepat memutus mata-rantai ketimpangan sebagaimana telah terjadi selama ini. “Harus segera direspon, dibenahi dan diperbaiki. Mudah-mudahan saja Gubernur segera melakukan evaluasi yang disertai tindakan reward and punishment,” demikian Indra P Keumala.