Oleh : Uzair
Di Aceh, uang tak lagi sekadar angka. Ia diharapkan menjadi sesuatu yang lebih: bagian dari iman. Sejak Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah diberlakukan, setiap transaksi di tanah ini dimaksudkan untuk membawa makna — agar laba tak terpisah dari keberkahan, dan risiko tak hanya ditakar oleh kalkulator, melainkan juga oleh nurani.
Di tengah semangat itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hadir seperti pengembara yang membawa peta. Ia bukan penguasa, tapi penjaga arah. Ia memastikan bahwa langkah-langkah ekonomi di Aceh tak menyimpang dari garis yang telah digariskan oleh prinsip syariah — garis yang, jika ditarik jauh ke belakang, berawal dari keyakinan bahwa keadilan dan keseimbangan adalah inti dari segala muamalah.
OJK, dengan segala perangkat regulasi dan pengawasan, memegang peranan sebagai penjaga tempo dari orkestra besar bernama sistem keuangan syariah. Ia menetapkan aturan agar harmoni tetap terjaga, agar nada sumbang—baik dalam bentuk ketidakpatuhan maupun kerakusan—tak mencoreng irama besar pembangunan Aceh yang hendak dibingkai dengan nilai Islam. Di balik rapat, perizinan, dan laporan audit, tersimpan kerja sunyi: menjaga kepercayaan masyarakat agar tetap percaya bahwa sistem ini bisa adil, bukan sekadar mengganti bunga dengan margin.
Namun, qanun dan regulasi, sebagaimana hukum pada umumnya, hanyalah fondasi. Di atasnya, kehidupan ekonomi menuntut kreativitas. Aceh membutuhkan perbankan syariah yang tak berhenti pada jargon, tapi berani melakukan terobosan. Sebab, iman dalam ekonomi tidak hanya diuji oleh niat, tapi juga oleh keberanian untuk mencari jalan baru.
OJK menyadari itu. Maka lembaga ini mendorong agar perbankan syariah di Aceh melangkah lebih jauh: menciptakan produk yang hidup di antara manusia, yang menyentuh dapur para pelaku usaha kecil, yang menjadi mitra bagi petani, nelayan, pedagang, dan pengrajin.
Skema musyarakah dan mudharabah, misalnya—dua istilah Arab yang berarti kebersamaan dan kepercayaan—harusnya bukan sekadar produk dalam brosur, tapi napas dari ekonomi rakyat. Dalam kemitraan semacam itu, bank dan nasabah berbagi untung, berbagi rugi, seperti dua sahabat yang mengarungi laut bersama. Di situlah letak keindahan sistem syariah: bukan transaksi antara yang kuat dan yang lemah, melainkan persekutuan antara yang saling percaya.
Tentu, jalan ini tak mudah. Dunia perbankan, dengan segala kehati-hatiannya, lebih senang berjalan di tanah yang datar dan pasti. Tapi ekonomi rakyat sering tumbuh di tempat yang tak rata: di warung-warung kecil, di tambak-tambak pinggiran, di ladang yang tergantung pada hujan. Di sinilah peran OJK kembali diuji—bukan hanya sebagai pengawas, tapi juga penggerak perubahan. Ia perlu memastikan agar bank syariah berani mengambil risiko yang manusiawi: risiko yang menumbuhkan, bukan menjerat.
Dan di tengah perubahan itu, literasi menjadi kata kunci. Di banyak tempat di Aceh, orang masih memandang keuangan syariah sebagai sesuatu yang jauh, abstrak, bahkan rumit. Padahal, ia seharusnya hadir seperti air di sumur—dekat, jernih, dan menghidupi. Melalui program edukasi dan literasi keuangan syariah, OJK menggandeng pesantren, universitas, hingga komunitas lokal, agar masyarakat bukan hanya menjadi nasabah, tetapi juga memahami makna spiritual di balik setiap transaksi.
Di sisi lain, digitalisasi membuka bab baru dalam kisah ekonomi Aceh. Ia memungkinkan lembaga keuangan menjangkau mereka yang tinggal jauh dari kota, di mana sinyal kadang lebih kuat dari kehadiran cabang bank. OJK mendorong agar teknologi digunakan bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga untuk merajut inklusi—agar setiap warga, betapa pun kecil usahanya, merasa menjadi bagian dari sistem ekonomi yang adil dan beradab.
Semua ini menuntut kolaborasi: antara pemerintah daerah, Bank Indonesia, lembaga zakat dan wakaf, serta para pelaku usaha. Aceh memiliki potensi besar dalam rantai nilai halal—pertanian, perikanan, kuliner, hingga pariwisata. Jika semua unsur ini bisa diikat dalam satu tali ekonomi syariah yang kokoh, maka Qanun LKS bukan sekadar teks hukum, melainkan jalan menuju kemandirian ekonomi yang berakar pada nilai-nilai Islam.
Akhirnya yang menentukan bukanlah banyaknya aturan, tapi seberapa dalam nilai-nilai itu meresap dalam praktik. Jika perbankan syariah di Aceh mampu memperluas akses pembiayaan musyarakah bagi UMKM dan mengelola risiko dengan bijak, maka sistem keuangan syariah tak lagi menjadi ide yang diulang dalam seminar, melainkan denyut yang terasa di pasar, di ladang, dan di rumah-rumah rakyat.
Di situlah OJK memainkan perannya yang paling halus: bukan sekadar mengawasi angka, tetapi menjaga agar ekonomi tetap memiliki hati.
*) jurnalis


