Jempolmu cerminan akalmu, harusnya bisa menjadi kalimat tajam untuk membuat kita berpikir berulang kali sebelum memutuskan untuk berbagi atau menyebarkan suatu informasi di media digital.
Di era ketika satu ketukan jempol bisa menjangkau ribuan orang, tanggung jawab moral dalam berbagi informasi menjadi semakin besar. Hari ini, kita hidup di masa di mana kabar bohong, potongan video, atau tangkapan layar bisa menyulut kemarahan, membentuk opini publik, bahkan menghancurkan reputasi seseorang dalam hitungan menit.
Namun sayangnya, sering kali kita lebih cepat membagikan informasi daripada memverifikasinya. Penyebaran misinformasi dan disinformasi tidak selalu dilakukan dengan niat jahat. Banyak di antara kita menyebarkan sesuatu karena merasa “penting untuk diketahui orang lain,” tanpa menyadari bahwa informasi tersebut bisa tidak benar atau menyesatkan. Padahal, setiap kali kita menekan tombol “bagikan”, kita ikut memperkuat rantai penyebaran kebohongan.
Mengutip laporan Tempo.co, riset yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat setidaknya 1.593 hoaks beredar sepanjang tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Fakta ini menegaskan bahwa etika berbagi dan literasi digital masih menjadi pekerjaan rumah bersama, dan itu baru dari satu sisi persoalan informasi yang kita hadapi hari ini.
Media sosial memang memberi ruang ekspresi yang luas, tetapi ruang itu bukan tanpa batas. Ada tanggung jawab moral di balik setiap unggahan, terutama ketika informasi yang kita bagikan bisa memengaruhi persepsi banyak orang. Seperti kata pepatah lama, “lidah lebih tajam dari pedang,” kini pepatah itu berubah: “jempol lebih cepat dari pikiran.”
Sebelum era digital menguasai keseharian kita, disinformasi telah lebih dulu hidup dalam bentuk yang sederhana. Ia berpindah lewat bisik-bisik di warung kopi, selebaran yang disebar diam-diam, atau berita yang dimonopoli oleh segelintir pihak.
Kala itu, keterbatasan akses informasi membuat masyarakat mudah percaya pada satu sumber kebenaran tanpa sempat membandingkan. Kini, di tengah derasnya arus media sosial dan pesan instan, disinformasi justru tumbuh subur di atas kelimpahan informasi. Bedanya, ia tak lagi berjalan pelan, melainkan berlari kencang, menembus ruang pribadi kita dalam hitungan detik. Ironisnya, di balik setiap tombol share atau forward, niat baik berbagi sering kali berujung pada penyebaran yang justru menyesatkan.
Perubahan lanskap informasi ini pun direspons berbeda oleh setiap generasi. Generasi yang tumbuh di masa pra-digital dibesarkan dalam budaya percaya; mereka menerima apa yang disiarkan koran, radio, atau televisi tanpa banyak curiga. Namun ketika ruang digital hadir membawa ribuan sumber berita sekaligus, kepercayaan lama itu justru menjadi celah yang mudah dimanfaatkan oleh disinformasi.
Sementara generasi milenial dan Gen X yang pernah hidup di dua dunia, analog dan digital lebih kritis, tetapi juga lebih mudah lelah memilah kebenaran di tengah banjir informasi. Mereka tahu pentingnya verifikasi, namun sering kalah oleh dorongan untuk cepat bereaksi atau tampak peduli di dunia maya. Di sisi lain, generasi digital natif tumbuh bersama internet, terbiasa dengan algoritma dan tren, namun tidak selalu dengan kebijaksanaan dalam menanggapinya.
Membangun budaya berbagi yang beretika bukan hanya tugas platform atau pemerintah, tetapi juga setiap pengguna internet. Sebelum membagikan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar? Apakah ini perlu dibagikan? Apakah ini bermanfaat atau justru bisa menyakiti orang lain?
Dan sepatutnya juga setiap pengguna media digital menyadari jika peradaban digital yang sehat tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita membagikan kabar, tetapi oleh seberapa dalam kita berpikir sebelum melakukannya.
Etika berbagi di media sosial sesungguhnya sederhana: tahan diri, periksa, dan pikirkan dampaknya. Dalam konteks masyarakat digital, kehati-hatian adalah bentuk tanggung jawab sosial. Menahan diri untuk tidak langsung percaya atau menyebarkan adalah bentuk kedewasaan digital, sesuatu yang masih jarang kita latih.(Nurul Ali )


