Dua Dekade Damai, Aceh Masih Terjebak “Negative Peace

Dua dekade pasca-penandatanganan MoU Helsinki, Aceh dinilai baru menikmati negative peace, sekadar berakhirnya perang dan dentuman senjata namun belum menyentuh positive peace yang berlandaskan keadilan, keterbukaan, dan partisipasi. Refleksi itu mencuat dalam Bincang Damai the Aceh Institute yang digelar di Paopia Garden Café, Banda Aceh, Kamis malam (14/8).

“Kenapa peace di Aceh masih negatif? Karena Aceh masih terperangkap dalam dirinya sendiri. Kita harus memilih: mau tetap negatif atau membangun positif” demikian sebut Sosiolog Otto Syamsuddin.

Menurutnya, kelemahan mendasar adalah banyak orang Aceh tidak betah tinggal di tanah kelahiran sendiri karena merasa sempitnya peluang untuk berkembang.

Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Ar-Raniry, Fuad Mardhatillah, menilai pembangunan perdamaian di Aceh belum memiliki fondasi kokoh. Menurut mantan Deputi BRR (Agama dan Sosbud) ini, positive peace membutuhkan kesepakatan bersama, partisipasi tulus, penghargaan terhadap perbedaan, serta kesadaran kolektif, namun, realitas di Aceh justru memperlihatkan paradoks.

“Anggaran melimpah tetapi tertutup, partisipasi tidak bermakna, perbedaan memicu konflik, bahkan kekerasan agama masih marak” ungkapnya dalam diskusi tersebut.

Fuad juga mengingatkan, dampak era post-truth dan media sosial dapat memperparah situasi. Tradisi verifikasi (tabayyun) kian ditinggalkan, hoaks berkembang luas, dan nalar kritis masyarakat kian tergerus. Ia menegaskan, “Generasi muda Aceh perlu tampil kritis dan kreatif agar perdamaian tidak berhenti hanya pada absennya perang.”

Sementara itu, Pakar Bahasa UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Saiful Akmal mengungkapkan narasi politik juga berubah seiring kepemimpinan. Ia mencontohkan, masa Irwandi Yusuf menekankan masa depan dengan program Aceh Hijau dan Jaminan Kesehatan Aceh. Lalu, masa Zaini Abdullah fokus pada pembangunan infrastruktur, lalu Muzakir Manaf (Mualim) sering mengaitkan narasi dengan masa lalu, yakni MoU Helsinki.

“Pertanyaan penting adalah siapa yang benar-benar menikmati hasil perdamaian? Anak-anak syuhada sering luput dari perhatian, padahal mereka bagian dari pengorbanan konflik,” ujarnya.

Saiful kemudian memetakan perjalanan perdamaian Aceh ke dalam tiga fase. Pertama, 2005–2012: internasionalisasi isu Aceh dengan banyaknya riset global pascatsunami dan perdamaian. Kedua, 2012–2018: pergeseran ke nasionalisasi atau acehnisasi, dengan fokus pada peran partai lokal dan implementasi MoU. Ketiga, 2018–sekarang: fase de-acehnisasi menuju integrasi dalam politik nasional. Perhatian donor menurun, NGO melemah, isu bergeser ke ekonomi dan lingkungan.

Menuju positive peace juga membutuhkan fondasi ekonomi yang setara. Pakar Statistik, Prof. Saiful Mahdi, menyoroti aspek sumber daya alam (SDA) sebagai faktor penting yang kerap memicu konflik. Ia mencontohkan pengalaman PT Arun di Aceh Utara yang justru melahirkan “ekonomi enklaf.”

“Kompleks perusahaan makmur, tapi masyarakat sekitar tetap miskin. Bahkan hingga kini, kecamatan sekitar LNG justru paling miskin di Aceh Utara,” sebutnya.

Menurutnya, Aceh gagal melakukan transisi dari sektor primer (tambang dan pertanian) ke industri sekunder. Ia menyebut fenomena ini sebagai Dutch disease, “Ketika tenaga kerja terserap di sektor tambang sementara industri dan pertanian melemah,” jelasnya.

Senada, Dosen Ekonomi Makro Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Nazamuddin, juga menyebutkan potensi konflik dapat kembali terjadi jika masalah kemiskinan tidak teratasi. “Menurut penelitian, konflik tidak berulang jika kemiskinan di bawah 5–10 persen. Namun, Aceh ada di angka 12 persen” tegasnya.

Berbeda dengan yang lain, dalam diskusi tersebut Koordinator Research and Education for Peace (REPUSM) Universiti Sains Malaysia, Prof. Dr. Kamarulzaman Askandar, menyoroti pengalaman damai Aceh yang telah menjadi laboratorium penting dan memberi pelajaran global, dibandingkan dengan kasus Mindanao dan Patani. Konsep-konsep perdamaian dari Aceh digunakan untuk memperbaiki situasi di tempat lain.

Menurutnya, militansi kerap lahir karena pintu dialog tertutup. “Orang-orang yang keras ini bukan untuk dibenarkan, tetapi untuk dipahami, sehingga penting mendengar dan memahami mereka” ujarnya. Ia mengilustrasikan sikap songsam (melawan arus) untuk menggambarkan militansi sebagai bentuk perlawanan dan pengingat.

Di akhir diskusi, para akademisi menekankan bahwa tugas membangun positive peace ada di tangan generasi muda. “Generasi sekarang punya kesempatan lima sampai sepuluh tahun ke depan untuk membangun fondasi baru” sebut Otto Syamsuddin.

Sementara itu, Saiful Mahdi mendorong pemerintah kembali pada moratorium tambang dan penebangan liar (illegal logging). “Kekayaan SDA memang potensi, tapi tanpa tata kelola yang baik justru menjadi sumber konflik baru.” (Nurul Ali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads