Dari Lensa Jurnalis : Kisah Perjuangan Pascagempa dan Tsunami Aceh

26 Desember 2004 lalu gempa bumi dahsyat mengguncang wilayah Samudra Hindia dengan kekuatan 9,2 skala Richter, memicu gelombang tsunami yang menghancurkan Aceh dan sekitarnya.

Kejadian ini menewaskan lebih dari 230.000 jiwa, menjadikannya salah satu bencana alam terbesar di dunia.

Heyder Affan, seorang jurnalis, tiba di Banda Aceh tiga hari setelah tsunami. “Saat itu tidak ada penerbangan langsung ke Banda Aceh” kisahnya.

“Kami harus menunggu di Medan sebelum akhirnya bisa menumpang pesawat TNI Hercules.” Katanya lagi.

Ketika menginjakkan kaki di Banda Aceh, suasana yang dijumpainya tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Kota ini begitu sepi. Banyak orang dengan tatapan kosong, dan jenazah korban tsunami terlihat di berbagai sudut jalan” katanya.

Selama hampir dua bulan di Banda Aceh, Affan mendokumentasikan kehancuran yang masif, kerugian jiwa, dan trauma kolektif. Pengalaman ini memberinya pandangan langsung tentang betapa besarnya dampak bencana ini terhadap manusia.

“Setiap hari saya melihat jenazah, anak-anak yang menjadi korban, dan kerusakan parah di mana-mana. Ketika kembali ke Jakarta, saya sering teringat anak saya saat melihat jenazah anak-anak di Aceh. Trauma ini sulit diatasi dan memerlukan waktu lama untuk pulih.”

Kunjungannya kembali ke Aceh, dua dekade setelah bencana, Affan membawa foto-foto yang diambilnya pada 2004. Namun, lanskap kota telah berubah drastis. Rekonstruksi dan pembangunan pasca-tsunami menghapus jejak fisik bencana, tetapi kenangan emosional tetap hidup. “Tidak ada lagi tatapan kosong, dan masyarakat Aceh sekarang menjalani kehidupan seperti sediakala” tambahnya.

Berbeda dengan Affan, Murizal Hamzah mengalami langsung detik-detik tsunami melanda. Minggu pagi itu, ia sedang membaca koran di rumahnya di kawasan Lamnyong. “Gempa datang dengan sangat dahsyat” ujarnya. “Tiba-tiba orang-orang teriak bahwa air laut naik, Saya melihat orang-orang panik, berlarian ke segala arah dengan wajah ketakutan.”

Dalam situasi genting, Hamzah sempat kembali ke rumah untuk mengambil kamera, tetapi air laut terus naik. Bersama beberapa warga, ia berlindung di lantai dua bangunan yang sedang dibangun di depan rumahnya, “Kami memecahkan kaca untuk masuk dan bertahan di sana.”

Seminggu pascabencana, Hamzah tidak dapat melakukan tugasnya sebagai Jurnalis, Ia tidak memiliki kontak ke Jakarta, peralatan kerja juga tidak ada. Seperti kehilangan arah, “Barulah ketika redaksi mengirimkan perlengkapan kerja dan pakaian, kami bisa mulai meliput.”

Bertemu dengan Jurnalis NHK, sebuah stasiun TV Jepang dan membantu mereka selama di Aceh, memberinya kesempatan bergabung dengan tim NHK selama enam bulam, “Mereka memberikan saya honor, saya bisa melanjutkan liputan, termasuk melaporkan ke kantor pusat saya di Jakarta” kenangnya.

Pengalaman Tsunami meninggalkan luka dan trauma mendalam, “Saya sering mengalami gangguan memori, terutama saat mengingat peristiwa yang berkaitan langsung dengan pengalaman itu” ujar Hamzah.

Dua dekade setelah tsunami, Aceh telah bangkit dari kehancuran. Pembangunan kembali mengubah lanskap kota, tetapi tantangan mitigasi bencana masih ada.

Di kawasan Ulee Lheue, misalnya, beberapa penyintas masih tinggal di zona berbahaya dekat pantai. Alasan ekonomi dan kedekatan emosional dengan rumah lama membuat mereka enggan pindah.

“Mereka mengatakan akan siaga jika bencana datang lagi. Mereka tahu rute evakuasi dan memastikan kendaraan selalu terisi bensin” ujar Affan. Namun, keberanian ini justru menyoroti tantangan utama mitigasi, bagaimana mengatasi faktor sosial dan budaya yang memengaruhi keputusan individu. “Padahal, aturan mitigasi menyatakan mereka seharusnya tidak boleh tinggal di sana (dekat bibir pantai).”

Sementara itu, Hamzah khawatir bahwa peristiwa tsunami hanya akan menjadi memori digital di Google. Di Banda Aceh, peringatan tsunami masih terlihat, “Tetapi di daerah lain, termasuk wilayah yang terkena gempa, masyarakat mulai melupakan ancaman tersebut, saya khawatir, seiring waktu, peristiwa ini hanya akan menjadi bagian dari memori tanpa menjadi pelajaran yang melekat bagi generasi mendatang” imbuhnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads