Konflik antara manusia dan satwa liar di Aceh terus menjadi isu mendesak seiring meningkatnya interaksi negatif di hampir seluruh kabupaten, baik di pesisir timur maupun barat. Langkah konkret mulai diambil melalui upaya konservasi dan preservasi habitat satwa liar, termasuk gajah.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengalokasikan 20.000 hektar dari kawasan konsesi hutan produksi milik PT Tusam Hutani Lestari (THL) sebagai area preservasi gajah di Aceh. Keputusan ini diambil setelah pertemuannya dengan Raja Charles III Inggris pada November lalu, yang turut dihadiri perwakilan WWF. Ahmad Shalihin, Direktur WALHI Aceh, menyebut langkah ini sebagai kabar baik yang patut diikuti oleh korporasi lain yang memiliki konsesi di wilayah habitat satwa liar.
“Usulan ini sebenarnya sudah lama diajukan. Semoga menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk mengambil langkah serupa,” ujar Shalihin.
TM Zulkifli, akademisi dan pengamat lingkungan, menjelaskan bahwa preservasi dalam konteks ini lebih fokus pada perlindungan spesies, sedangkan konservasi lebih kepada pelestarian habitat. “Walaupun istilahnya berbeda, tujuannya sama: menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati,” jelasnya.
Langkah ini juga disambut baik oleh Direktur Forest & Wildlife, Imron. “WWF Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk memastikan pengelolaan area ini dilakukan secara efektif. Meskipun area ini bukan bagian dari koridor inti gajah, diharapkan manfaatnya signifikan,” ujarnya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Ujang Wisnu Barata, menjelaskan bahwa preservasi dalam UU No. 32 Tahun 2024 memiliki lima fungsi utama sebagai penyangga kawasan konservasi, koridor ekologis, areal kelola masyarakat, kawasan perlindungan kearifan lokal, dan wilayah dengan nilai konservasi tinggi.
Populasi gajah di Aceh, yang diperkirakan mencapai 1.400–2.000 ekor, memerlukan area lebih luas untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Namun, saat ini habitat gajah masih terfragmentasi, sehingga konektivitas antararea menjadi prioritas penting.
“Kebijakan tata ruang yang tidak memperhatikan aspek ekologis sering kali memicu konflik manusia dengan satwa liar,” tambah Shalihin. Ia menekankan pentingnya pendekatan humanis dalam mengelola konflik ini, dengan melibatkan masyarakat dan melindungi kedua belah pihak.
TM Zulkifli menekankan perlunya pengelolaan berbasis keanekaragaman hayati sebagai panduan kebijakan di Aceh. Sementara itu, Shalihin menyoroti pentingnya penundaan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan yang berpotensi menjadi koridor satwa liar untuk melindungi habitat alami satwa.
Aceh menjadi habitat kunci bagi empat satwa endemik, yaitu gajah, harimau, orangutan, dan badak. Menurut OmSol, Direktur WALHI Aceh, konservasi harus mencakup semua spesies tersebut. Model sanctuary badak di Aceh Timur, misalnya, dapat menjadi acuan bagi upaya konservasi lainnya.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, saat meninjau area preservasi di CRU DAS Peusangan pada 19 Desember, menginstruksikan percepatan penyusunan rencana induk area preservasi koridor gajah Sumatra di Aceh. Target penyelesaiannya ditetapkan pada April 2025.
Langkah ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang bagi kelestarian gajah Sumatra dan mitigasi konflik antara manusia dan satwa liar di Aceh. (Nurul Ali)