Tahun Tsunami: Dari Luka ke Edukasi Mengajarkan Generasi Baru untuk Siaga Kebencanaan

Dua puluh tahun yang lalu, gelombang besar menghantam pesisir Aceh, meninggalkan jejak kehancuran yang tak terlupakan. 

Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 bukan hanya sebuah bencana alam, tetapi juga ujian yang menguji solidaritas dan kepedulian terhadap kemanusiaan.

Ribuan nyawa melayang, kota-kota hancur, dan kenangan terbenam dalam reruntuhan. Namun, dari kegelapan itu muncul cahaya harapan, di mana Aceh mulai bangkit, membangun kembali, dan merajut kembali kehidupan dari puing-puing kehancuran.

Sebagai bagian dari proses pemulihan, Aceh menjadi contoh nyata tentang bagaimana masyarakatnya mampu bertahan dan bangkit setelah bencana besar. Kini, setelah dua dekade, Aceh terus memulihkan diri.

Tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pembangunan ketangguhan sosial dan psikologis. Melalui berbagai program pendidikan kebencanaan, terutama untuk generasi muda, memastikan bahwa peristiwa besar ini tidak hanya dikenang sebagai sejarah, tetapi sebagai pelajaran yang terus relevan bagi masa depan.

Peringatan 20 tahun gempa dan tsunami di tahun ini, Komunitas Youth Disaster Awareness Forum bersama dengan Japan International Agency Coorperation (JICA) menyelenggarakan Aceh Tsunami Awareness Festival (ATAFest), mengajak pelajar untuk peduli dan tanggap bencana.

Ketua Pelaksana program tsunami percussion drill, Nurul Bari, mengatakan kegiatan utama dalam rangkaian acara peringatan tsunami ke-20 adalah simulasi kebencanaan yang melibatkan siswa-siswa dari berbagai jenjang sekolah. 

“Kami mengundang siswa-siswa dari SD, SMP, dan SMA, karena mereka lahir setelah 2004. Oleh karena itu, mereka tidak mengalami bencana langsung, dan penting bagi mereka untuk memahami sejarah dan pelajaran dari bencana ini,” ujarnya.

Saat gempa dan tsunami 2004 terjadi, Aceh menjadi sorotan dunia dan negara-negara dibelahan benua datang membantu. lSalah satu negara yang mendukung pemulihan Aceh adalah Jepang. Hingga kini, kolaborasi antara Jepang dan Aceh terus berlanjut, terutama dalam upaya pendidikan kebencanaan dan pembangunan infrastruktur mitigasi bencana. 

Melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), pemeritah Jepang dan pemerintah Aceh terus meningkatkan kesadaran masyarakat terutama generasi sekarang melalui edukasi kebencanaan yang berkelanjutan.

Konselor Jepang di Medan Takonai Susumu mengatakan, “Edukasi kebencanaan sangat penting, tidak hanya di Aceh, tetapi juga di Jepang. Kami berharap melalui kerjasama ini, kami dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya mitigasi bencana.”

Senada dengan Tanokai, Chief Representative of JICA Indonesia Office Takeda Sachiko juga mengungkapkan hal yang sama tentang mitigasi kebencanaan pada generasi muda, “kesadaran kebencanaan masyarakat Aceh sudah bagus, kolaborasi antara Jepang dan Aceh akan dapat menguatkan pengembangan tentang kebencanaan, karena kita memiliki pengalaman yang sama pada Tsunami.”

Meskipun generasi sekarang tidak mengalami langsung bencana seperti yang terjadi pada 2004, mereka tetap harus belajar dan memahami langkah-langkah mitigasi kebencanaan yang tepat.

Menurut Pj. Walikota Banda Aceh Almuniza Kamal, mengatakan “Simulasi dan evakuasi adalah kegiatan yang sangat dibutuhkan agar masyarakat lebih siap. Kami berharap pendidikan ini bisa masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah di Aceh, sehingga setiap generasi memahami cara-cara menghindari bahaya dan bertindak cepat saat terjadi bencana.

Pentingnya pendidikan kebencanaan juga ditekankan oleh Walikota Banda Aceh terpilih, Illiza Saa’duddin Djamal, “Mitigasi bencana sangat penting, terutama karena Aceh berada di wilayah rawan bencana. Edukasi kebencanaan harus terus digalakkan, dan menjadi pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap generasi,” ujarnya.

Hastin Chandra Diantari, Program Officer bidang Kebencanaan JICA Indonesia, menjelaskan kerjasama Indonesia dan Jepang terus berlanjut dalam berbagai bentuk, termasuk pengembangan master plan penanggulangan bencana dan pembangunan infrastruktur yang lebih tahan bencana. 

“Kami berfokus pada pendidikan kebencanaan dan melibatkan generasi muda dalam kegiatan simulasi dan drill. ini penting untuk membangun kesadaran di kalangan anak muda, karena mereka adalah masa depan yang akan menentukan bagaimana kesiapsiagaan bencana dapat diterapkan di Aceh,” terangnya.

Melalui berbagai kegiatan yang melibatkan generasi muda, Aceh berharap dapat mencetak generasi yang lebih tangguh dan lebih siap menghadapi bencana. Tak hanya untuk Aceh, namun untuk seluruh dunia, pengalaman dan kebangkitan Aceh setelah tsunami menjadi pelajaran berharga tentang ketangguhan manusia.

“Kita juga berharap program mitigasi juga dapat masuk dalam kurikulum pendidikan nantinya, karena Aceh berada di wilayah yang rawan bencana” sebut Illiza.

Aceh Tsunami Awareness Festival telah berlangsung pada 19-21 Desember 2024 lalu, mengusung tema “Strategi Kreatif Promosi Kesadaran Mitigasi Bencana di Sekolah”, rangkaian acara yang dihadiirkan seperi seminar, kompetisi dan Tsunami drill.

Melalui rangkaian kegiatan yang mengedepankan edukasi, partisipasi generasi muda, dan kolaborasi lintas sektor, ATA Fest diharapkan dapat menumbuhkan budaya sadar bencana yang berkelanjutan. Partisipasi aktif masyarakat, terutama generasi muda, menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan sistem mitigasi yang tangguh. (Nurul Ali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads