Asosiasi Dyslexia (anak berkebutuhan khusus) Indonesia membentuk cabangnya di Aceh, Sabtu 18 Oktober 2014. Acara yang digandeng bersamaan dengan 1st Aceh Symposium and Workshop on Learning Disabilities dengan tema “Mengenal dan Memahami Kesulitan Belajar Anak”, dilaksanakan di gedung AAC Sultam Selim, Banda Aceh.
Pembentukan Asosiasi Dyslexia Aceh dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Anas M Adam, Ketua Asosiasi Dyslexia Indonesia, dr Kristiantini Dewi SpA dan pakar dyslexiam, dr Purboyo Solek SpA.
Ketua Dyslexia Aceh, dr Munadia Sp.KFR mengatakan pentingnya kehadiran asosiasi tersebut di Aceh, bertujuan untuk sosialisasi kepada semua disiplin ilmu agar memahami apa itu dyslexia atau anak berkebutuhan khusus.
Banyak temuan di sekolah anak-anak yang kesulitan dalam belajar, dicap dengan malas dan bodoh, padahal label seperti itu akan membuat anak-anak tersebut terganggu secara mental. ”Anak-anak dyslexia itu umumnya sensitif,” ujar Munadia.
Banyak negara maju seperti Singapura, anak yang mempunyai kesulitan belajar spesifik dibina, difasilitasi dan dididik secara khusus dengan sangat intensif. Karena anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik mempunyai potensi sangat besar, yang kelak dapat diandalkan untuk membangun negaranya.
Asosiasi Dyslexia Aceh nantinya akan terus melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan ke masyarakat secara luas untuk memberikan pemahaman apa dyslexia maupun anak berkebutuhan khusus lainnya. ”Simposium pertama yang digelar di Aceh ini adalah bagian dari sosialisasi.”
Simposium diikuti oleh 120 peserta yang terdiri dari 60 orang tua, 30 orang dokter dan selebihnya para guru yang ada di Banda Aceh. Simposium dilaksanakan selama dua hari.
Ketua Asosiasi Dyslexia Indonesia, dr Kristiantini Dewi SpA mengatakan, secara Asosiasi Dyslexia di Indonesia terbentuk sejak 27 Desember 2009. Lembaga tersebut berdiri secara independen dan berada di bawah UNESCO, ”Visinya terwujudnya kegiatan dan pelayanan terpadu kepada anak berkebutuhan khusus. Juga meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap mereka.”
Dalam Forum Dyslexia Dunia di Paris, Perancis pada November 2012, Asosiasi Dyslexia Indonesia telah dikenal luas dan mendapat mandat melakukan sosialisasi sampai ke seluruh wilayah Indonesia. ”Kami sering kampanye di daerah-daerah dengan menghadirkan pakar-pakar tentang anak,” kata Kristiantini.
Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Anas M Adam mendukung penuh asosiasi yang terbentuk di Aceh tersebut. ”Insya Allah pada 2015 kita akan plot anggaran untuk sosialisasi (dyslexia) ke seluruh Aceh,” ujarnya.
Anas mengakui selama ini pemahaman banyak orang di Aceh tentang dyslexia rendah. Juga belum ada lembaga yang menangani dyslexia di Aceh. Sekolah khusus yang ada di Aceh pun hanya sekolah Luar Biasa, untuk anak-anak yang punya keterbatasan.
Menurutnya pada tahun 2012, nasional pernah menawarkan untuk Aceh untuk mengadakan program pusat layanan anak Autis, dan ini sedang disiapkan oleh Dinas Pendidikan Aceh. ”Mungkin nanti dengan batuan kawan-kawan asosiasi dyslexia, bisa digabung menjadi pusat layanan anak autis dan dyslexia,” kata Anas disambut aplus dari para peserta simposium.