Aceh memiliki catatan sejarah dengan rentang waktu yang cukup panjang dan kompleks. Abad ke-17 adalah masa Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.
Sumber sejarah yang dapat ditemukan beragam dan mengisahkan berbagai aspek kehidupan pada masa itu. Salah satu yang dituliskan dalam sumber sejarah adalah pengobatan tradisional yang dilakukan turun-temurun.
Pada masa lampau, praktik pengobatan tradisional dilakukan pada berbagai jenis penyakit mulai dari sakit ringan hingga sakit berat seperti wabah (thae’un).
Belum ada naskah yang menjelaskan secara rinci bagaimana sejarah kusta di Aceh dan pengobatan yang pernah dilakukan. Diceritakan, orang yang terkena budôk (kusta) akan diungsikan ke pulau terpencil.
“Tentang kusta secara spesifik, saya belum menemukan rempah atau cara pengobatannya. beberapa penyakit yang pernah ada di Aceh tidak terekam dengan baik, juga jika merujuk pada buku ‘Aceh: Dimata Kolonialisme’ karya Snouck Hurgronje, disebutkan orang yang sakit kusta akan diasingkan ke pulau Nias” kata Hermansyah, Akademisi yang juga Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Aceh.
Namun cerita itu tidak disebutkan dengan jelas, “Referensi dari buku tersebut belum tentu shahih karena cerita yang didapatkannya (Snouck) dari cerita-cerita masyarakat” tambah Hermansyah.
Dalam naskah klasik, pengobatan dilakukan oleh praktisi yang memahami tentang penyakit, mereka bisa seorang Habib dengan cara rajah (meu;rajah) menggunakan doa (ayat-ayat Al Quran) atau Tabib dengan menggunakan ramuan dari herbal. Rempah juga digunakan sebagai bahan dasar ramuan pengobatan.
Di Nagan Raya, pasien kusta yang belum mengetahui bahwa kusta dapat diobati atau tidak mau berobat ke Puskesmas (karena khawatir stigma), mereka memilih untuk berobat secara tradisional.
Dalam riset yang diterbitkan pada 2017 menuliskan, pengobatan penyakit kusta dari Habib dan Tabib biasanya menggunakan doa khusus rajah dan air yang telah diberkahi ditambah salep dari tumbuh-tumbuhan yang dioleskan pada bagian kulit yang sakit dan ramuan lain dari tumbuh-tumbuhan yang diberikan dengan cara menghirup asap hasil pembakarannya. Perawatan ini dikenal sebagai “Peundang” dalam bahasa Aceh.
Masyarakat menghormati dan menghargai Habib dan Tabib sehingga perkataannya dipercaya dan akan diikuti oleh masyarakat biasa. Sampai hari ini, praktik pengobatan tradisional masih ada. Artinya, perkembangan ilmu medis modern tidak serta merta menghilangkan pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional mungkin membantu perawatan pada luka (ulkus) kusta dan meredakan reaksi kusta, tetapi tidak dapat dijamin menyembuhkan kusta sepenuhnya. Ada beberapa alasan mengapa pengobatan tradisional mungkin tidak cukup efektif untuk menyembuhkan kusta sepenuhnya.
Pengobatan tradisional belum melalui uji klinis dan penelitian ilmiah yang menyeluruh untuk memastikan bahwa itu efektif. Bakteri Mycobacterium leprae yang menyebabkan kusta memiliki karakteristik biologis dan resistensi terhadap pengobatan.
Antibiotik, perawatan luka, dan manajemen gejala lainnya seringkali diperlukan dalam pengobatan kusta karena setiap orang dapat merespons pengobatan dengan cara yang berbeda.
Pengobatan tradisional mungkin tidak dapat memberikan pendekatan holistik yang diperlukan untuk mengatasi semua aspek penyakit ini, tetapi penggunaan antibiotik modern telah terbukti lebih efektif dalam menghancurkan bakteri ini secara langsung.
Pengobatan kusta tradisional, memakan waktu lebih lama atau tidak memberikan hasil yang cukup cepat, dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen jika diagnosis dan pengobatan kusta ditunda.
Dalam pengobatan kusta modern, tujuan utama adalah menghentikan rantai penularan, mengurangi angka penularan, mengobati dan menyembuhkan penyandang kusta, serta mencegah disabilitas kecacatan . Pengobatan mengkombinasi penggunaan beberapa antibiotik untuk membantu pasien pulih dan mencegah resistensi.
Rifampicin, Dapsone, Minocycline, Ofloxacin, dan Elofazimine adalah beberapa contoh antibiotik yang digunakan untuk mengobati kusta. Jenis, dosis, dan lama pemberian antibiotik disesuaikan dengan jenis kusta.
Pasien Penderita kusta diberikan kombinasi antibiotik selama enam bulan sampai dua tahun. Berurusan dengan kusta bukan hanya takaran. Pengobatan kusta di Indonesia dilakukan dengan metode Multidrug Therapy atau MDT.
Penyakit kusta juga dapat diobati melalui pembedahan. Salah satu tujuan pembedahan yang dilakukan pada pasien kusta adalah untuk menormalkan fungsi saraf yang telah rusak, memperbaiki bentuk tubuh mereka yang disabilitas cacat, dan mengembalikan fungsi anggota tubuh mereka.
Dikutip dari laman Pencegahan dan Penularan Penyakit (P2P) Kementerian Kementrian Kesehatan RI, studi ilmiah tentang pemberian Single Dose Rifampicin (SDR)/Rifampisin dosis tunggal yang diberikan kepada kontak dekat dari kasus indeks, telah terbukti secara efektif mengurangi risiko kusta. Tidak hanya pasien kusta, kontak dalam upaya mengurangi jumlah kasus baru dengan mengurangi penularan Kusta.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Aceh, dr Iman Murahman mengatakan penyakit kusta masih termasuk satu bagian dari TBC; TBC menular lebih cepat, sementara kusta bakterinya lengket dalam waktu yang lama. Baru kemudian menyerang saraf tepi, seperti jari dan kulitkutit, yang menjadi tidak nyaman.
Pada tahun 2022, temuan kasus kusta baru di Aceh menurun dengan 225 kasus baru, dibanding tahun 2021 sebanyak 321 kasus. Kasus tertinggi ditemukan di Banda Aceh dengan 50 kasus, Pidie dengan 49 kasus, Bireuen dengan 41 kasus, Aceh Selatan dengan 28 kasus, dan Aceh Utara dengan 23 kasus. Simeulue dan Sabang memiliki satu kasus.
Penyakit Kusta masih merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia. Sejak tahun 2000 Indonesia dinyatakan telah mencapai status eliminasi kusta dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional sebesar 0,9 per 10.000 penduduk.
Mendukung kegiatan penanggulangan kusta di Indonesia, NLR Indonesia mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta. Saat ini NLR bekerja di 12 Provinsi dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia.
Melalui program Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA), NLR mengkampanyekan dan mengajak masyarakat untuk mengikis stigma negatif tentang kusta dan mendorong Pemerintah dengan menghadirkan kebijakan konkret dan berkelanjutan untuk mengurangi dan mengeliminasi kasus kusta di Indonesia hingga 2030. SS
Artikel ini adalah bagian dari program Fellowship “Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA)” dari NLR Indonesia bersama anterokini.
Oleh: Nurul Ali