Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri terakhir dari 10 seri wawancara.
Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan sistem syariah dalam menjalankan ekonomi perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini diundangkan dalam Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang merupakan produk hukum yang lahir dari keistimewaan Provinsi Aceh.
Menilik pasal 5 Qanun LKS bertujuan antara lain, mewujudkan perekonomian Aceh yang Islami, menjadi penggerak dan pendorong pertumbuhan perekonomian Aceh, meningkatkan akses pendanaan dan usaha bagi masyarakat serta membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat. Intinya, lembaga keuangan syariah dimaksudkan untuk memperkuat implementasi pembangunan ekonomi syariah di Aceh
Oleh karena itu, keberadaan Qanun LKS diharapkan dapat memberikan banyak manfaat bagi keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terlebih dalam hal porsi pembiayaan dari industri perbankan syariah sehingga dapat menjadi solusi terkait kemiskinan di Aceh. Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi Qanun LKS sehingga muncul wacana untuk melakukan revisi terhadap produk hukum tersebut.
Mantan anggota Tim Perumus Draf Akademik Qanun Lembaga Keuangan Syariah sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry, Dr. Hafas Furqani, M.Ec. mengatakan sejumlah permasalahan yang terjadi dan dikeluhkan oleh sebagian kalangan masyarakat Aceh saat ini bukan karena isi atau prinsip-prinsip syariah yang terkandung dalam Qanun LKS, tetapi karena serangan sistem IT yang melumpuhkan pelayanan BSI.
Dia juga tidak mengetahui bagian mana dari Qanun LKS yang harus direvisi karena menurutnya justru Qanun LKS meminta lembaga keuangan syariah untuk pro sektor riil, sektor produktif, dan berorientasi sosial sehingga penguatan Qanun LKS menjadi sangat penting saat ini. Apalagi masih banyak dimensi dalam Qanun LKS yang belum dilaksanakan.
Dr. Hafas Furqani, merupakan dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Pendidikan S1 diraih tahun 2002 dalam bidang Syari’ah Mu’amalah pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pendidikan S2 dan S3 diraih tahun 2006 dan 2012 dalam Ilmu Ekonomi Islam pada International Islamic University Malaysia (IIUM).
Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Hafas Furqani.
Apa peran Anda dalam proses lahirnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah?
Saya kebetulan terlibat di tahap akhir penyusunan Qanun Lembaga Keuangan Syariah sekitar tahun 2017 dan 2018.
Apa yang dilakukan?
Yang kami lakukan bersama tim adalah membuat pasal demi pasal isi qanun. Saya mewakili Dinas Syariat Islam. Ada dari lembaga keuangan syariah, praktisi, dan dari pihak industri juga terlibat dalam penyusunan Qanun ini.
Bagaimana Anda menilai penerapan single banking system tanpa melakukan studi banding penerapan di negara lain seperti Iran?
Untuk penerapan single banking system ini, sebenarnya Aceh memilih untuk melaksanakan sistem keuangan ataupun transaksi keuangan berbasis syariah. Itu berdasarkan keinginan Aceh sendiri untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Dan kalau kita melihat dari Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) kemudian dari Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam digariskan bahwa implementasi syariat Islam itu dalam bidang jinayah, siyasah termasuk dalam bidang muamalah dalam hal ini ekonomi dan keuangan.
Nah, di dalam qanun itu disebutkan bahwa masyarakat Aceh dan pemerintah Aceh melakukan transaksi keuangannya menggunakan prinsip-prinsip syariah. Artinya, transaksi-transaksi keuangan ataupun aktivitas keuangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tidak bisa dilaksanakan di Aceh. Untuk itu lembaga-lembaga keuangan diminta melakukan penyesuaian agar transaksi keuangannya menggunakan prinsip-prinsip syariah sehingga jasa dan produk yang ditawarkan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Jika kita melihat dan mengamati konsep syariah di Iran mereka murni melakukannya, bahwa jika melihat kepada keuntungan antara bank penyelenggara dengan nasabah maka nasabah yang lebih diuntungkan. Sejauh ini di Aceh kita melihat justru sebaliknya. Bagaimana tanggapan Anda?
Tidak, kalau prinsip syariah semuanya sama karena kita berdasarkan aqad-aqad dan hukum-hukum syariah. Jadi, patokannya sama, di Aceh, di Iran, dimana-mana saja, di Malaysia, di Turki, kalau menggunakan prinsip-prinsip syariah ya sama.
Prinsip syariah ini kan keuntungannya keduabelah pihak. Artinya, kedua pihak sama-sama, baik nasabah maupun lembaga keuangan sama-sama untung, sama-sama mendapatkan manfaat. Jadi, tidak boleh ada eksploitasi dari satu pihak kepada pihak yang lain ataupun merugikan satu pihak kepada pihak yang lain.
Konsep bagi hasil dalam naskah akademik Qanun Lembaga Keuangan Syariah sangat baik, tapi apakah Anda mengkritisi praktik bank syariah di Indonesia dan di Aceh? Mengapa tidak sesuai dengan konsep tersebut?
Justru sesuai, apa yang harus dikritik.
Sejauh ini kita melihat pada sejumlah permasalahan yang terjadi atas penerapan Qanun LKS ini.
Nah, yang terjadi hari ini kan permasalahan teknis, bukan permasalahan dari segi prinsip-prinsip syariahnya. Misalnya, permaslahan ATM kemudian yang baru-baru ini masalah BSI yang error sistemnya. Error sistem juga karena serangan cyber. Artinya, bukan syariahnya yang salah. Wapres Ma’ruf Amin terakhir kan menyatakan bahwa serangan cyber ini ataupun sistem error itu bisa terjadi di bank mana pun sejauh mereka bisa mengaksesnya.
Di Iran, single banking system diberi jeda terlebih dahulu 6 tahun sebelum kemudian dilaksanakan, mengapa di Aceh tidak dilakukan hal itu?
Saya kurang tahu apakah benar 6 tahun di Iran karena mungkin di sana lebih cepat, ya. Di Aceh kita kan sudah ada pengalaman melaksanakan sistem keuangan syariah ini. Bank Aceh sudah melakukan proses konversi pada tahun 2015 selesainya 2016.
Nah, kemudian sistem keuangan syariah ini juga bukan hal yang asing di Indonesia. Sejak tahun 1990-an itu sudah ada Bank Muamalat Indonesia dan untuk di dunia ini juga bukan hal yang asing. Artinya, masyarakat kita juga sudah melakukan, sudah ada transaksi-transaksi keuangan menggunakan prinsip-prinsip syariah.
Maksudnya, kalau kita melihat di Iran menerapkan bertahap dulu. Ada proses 6 tahun dan itu juga pernah disampaikan oleh para ekonom kita 5 atau 10 tahun.
Untuk Aceh kalau kita lihat qanunnya itu tiga tahun masa transisi. Transisi tiga tahun diperkirakan akan selesai pada Januari 2022. Nah, mulai proses konversi itu dari 2019 dan ternyata prosesnya bisa berlangsung lebih cepat. Proses konversi dilakukan sepanjang tahun 2019 dan selesai pada tahun 2020. Artinya, lebih cepat dari yang ditargetkan. Jadi, kalau saya melihat justru lebih hemat.
Mengapa lembaga keuangan konvensional di Aceh melakukan proses konversi itu dengan sangat cepat? Karena yang pertama, mereka menghormati qanun ataupun keinginan masyarakat Aceh untuk mengimplementasikan syariat Islam di dalam bidang ekonomi.
Kedua, proses konversi ini kalau tidak dilakukan dengan cepat justru akan menimbulkan biaya-biaya yang lebih besar sehingga dalam dua tahun bisa selesai. Kalau di qanun diinginkan Januari 2022, proses transisi ini selesai justru bisa lebih cepat.
Jika anda berkilah itu sudah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN), mengapa Dewan Syariah Aceh (DSA) tidak mengkaji untuk penerapan konsep bagi hasil (sesuai naskah akademik Qanun LKS) itu di Aceh? Jadi, dalam Qanun LKS revisi dicantumkan bank syariah yang masuk Aceh mesti menyesuaikan konsep bagi hasil yang ditetapkan DSA.
Ya, di dalam qanun juga disebutkan bahwa pembiayaan berbasis bagi hasil itu harus 40 persen dari total pembiayaan lembaga keuangan syariah pada tahun 2024 pasal 14, itu coba diperhatikan juga. Jadi, ada ekspekstasi di qanun ini arah pembiayaan lembaga keuangan syariah ke depan itu tidak lagi konsumtif. Artinya, konsumtif masih ada, tapi proporsi bagi hasilnya menjadi lebih besar.
Kalau bagi hasil kita menggunakan prinsip mudharabah dan musyaraqah. Itu di dalam qanun diinginkan pembiayaan berbasis bagi hasil 40 persen pada tahun 2024.
Nah, ini menjadi tugas pemerintah Aceh untuk memperkuat qanun ini karena saya lihat sendiri banyak dimensi di dalam qanun ini yang belum dilaksanakan. Ini perlu penguatan lebih lanjut dari pemerintah Aceh yang melahirkan qanun agar semua bisa diimplementasikan.
Coba lihat misalnya pasal 14 ayat 4, itu diharapkan lembaga keuangan syariah pro sektor riil, UMKM, dan produktif di mana 40 persen pembiayaannya mengarah ke sektor UMKM dan sektor produktif. Sementara peraturan Bank Indonesia sendiri hanya 20 persen. Nah, di dalam qanun lebih tinggi. Ini kalau misalnya pemerintah kita mewajibkan ataupun menjaga qanun ini agar lembaga keuangan syariah menyalurkan pembiayaan untuk sektor UMKM dan produktif lebih besar maka ekonomi Aceh juga akan berubah wajahnya.
Kemudian di pasal 15 dan 16 disebutkan bahwa lembaga keuangan syariah yang beroperasi di Aceh harus berorientasi sosial. Jadi, ada kerja sama antara lembaga keuangan syariah dan Baitul Mal kemudian ada integrasi zakat, infak, sedekah, dan wakaf dengan sektor keuangan sosial Islam. Ini juga membawa wajah baru bagi perekonomian Aceh karena kita ketahui bahwa lembaga keuangan itu kan provit motif, motifnya itu mencari keuntungan, tapi di qanun itu dikawal dan diprotek dengan pasal 15 dan 16 bahwa lembaga keuangan syariah yang beroperasi di Aceh harus berorientasi sosial.
Satu lagi, di dalam Qanun LKS ini juga membuka peluang untuk lembaga keuangan syariah mengembangkan produk dengan karakter dan kebutuhan masyarakat lokal. Jadi, ada produk keuangan lokal yang bisa dihasilkan oleh lembaga keuangan syariah dengan mempertahankan prinsip kepatuhan syariah, aspek kehati-hatian, dan analisis kelayakan.
Ini juga sebenarnya terobosan baru yang penting dan harus ditangkap oleh lembaga keuangan syariah serta harus dikawal oleh pemerintah Aceh.
Apakah perlu dilakukan kajian kembali secara mendalam penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah ini agar memberikan kemaslahatan luas bagi masyarakat di Aceh?
Ya, tentu dalam setiap qanun yang dilahirkan kita perlu melakukan kajian-kajian sejauh mana dia sudah dimplementasikan dan mana ruang-ruang yang belum diimplentasikan. Ini perlu penguatan dari kita semua.
Jika dilakukan revisi menurut Anda bagian apa saja dari Qanun yang perlu diubah?
Untuk revisi saya juga belum tahu dimensi mana yang perlu dilakukan revisi karena banyak juga orang-orang yang meminta revisi, tapi ketika ditanya ayat berapa yang mau direvisi semua juga masih diam.
Kalau bagi saya sendiri yang penting adalah penguatan qanun ini karena banyak dimensi dalam qanun belum dilaksanakan, padahal kalau ini dilaksanakan justru perekonomian Aceh akan berubah wajahnya karena qanun ini meminta lembaga keuangan syariah untuk pro sektor riil, sektor produktif kemudian juga berorientasi sosial. Itu kan diinginkan sendiri oleh UUPA.
Coba lihat UUPA pasal 155 itu disebutkan perekonomian Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, dan efisiensi dalam pola pembangunan yang berkelanjutan. Nah, itu kan sangat sesuai dengan apa yang diinginkan di dalam UUPA. (Lia Dali)