Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengatakan Izil Azhar (IA) atau lebih akrab disapa Ayah Merin sudah lama menjadi buronan atau DPO (Daftar Pencarian Orang) sejak tahun 2018 terkait dugaan penerimaan gratifikasi bersama mantan Gubernur Aceh ketika itu, Irwandi Yusuf.
Ali mengatakan sekalipun saat itu Izil Azhar sebagai DPO, tetapi proses penyidikan masih terus dilanjutkan. KPK tidak pernah menghentikan perkara tersebut hingga ketika yang bersangkutan berhasil ditangkap, penyidikannya kembali dilanjutkan pada proses pemberkasan perkara.
“Ini adalah dugaan penerimaan gratifikasi tersangka IA yang diduga bersama dengan Irwandi Yusuf dan diterima secara bertahap dari tahun 2008 sampai 2011 dengan nilai bervariasi hingga berjumlah Rp32,4 miliar,” ujarnya.
Secara sederhana, peran dari tersangka IA adalah sebagai pengepul atau perantara. IA adalah orang kepercayaan Irwandi Yusuf. Saat itu Irwandi Yusuf dalam jabatannya sebagai gubernur diduga menerima gratifikasi dengan istilah “Jaminan Pengamanan” dari pihak Board of Management (BOM) PT Nindya Sejati Joint Operation (JO), yaitu Heru Sulaksono dan Zainuddin Hamid.
“Tentu dalam proses penyidikan nanti akan dibuktikan lebih lanjut perbuatan dari tersangka IA ini. Saat ini kami terus melakukan pengumpulan alat bukti dan pemberkasan perkara,” imbuhnya.
Terkait bagaimana upaya KPK untuk menjerat kembali Irwandi Yusuf dan apa status Irwandi Yusuf dalam perkara ini, Ali mengatakan bahwa Irwandi Yusuf pernah menjadi tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Artinya, perkaranya telah memiliki kekuatan hukum tetap. KPK akan memanggil Irwandi Yusuf sebagai saksi dalam proses perkara dengan tersangka IA.
Ali mengatakan secara hukum Irwandi Yusuf tidak boleh diadili kembali karena itu Ne Bis In Idem. Istilah hukumnya, tidak boleh seseorang di hukum dua kali dengan perbuatan yang sama. IA merupakan pelaku bersama dengan Irwandi Yusuf sehingga Irwandi Yusuf tidak bisa dihukum kembali dengan perkara yang sama, kecuali ada pengembangan perkara dari keterangan IA.
“Tentu nanti sesuai fakta-fakta, apakah tersangka IA akan membuka beberapa perbuatan lain yang belum didakwakan terhadap Irwandi Yusuf? Kalau ada fakta-fakta lain selain dari yang sudah didakwakan, tentu bisa kembali dikembangkan, tetapi kalau fakta-faktanya tidak ada dan sama dengan sebagaimana yang sudah pernah didakwakan, secara hukum itu tidak boleh. Tidak boleh seseorang dihukum dua kali dengan perkara yang sama,” katanya.
Tahun 2016, mantan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), Ruslan Abdul Gani, divonis lima tahun penjara atas perkara ini. Dia telah bersaksi atas keterlibatan Izil Azhar dan Irwandi Yusuf. Lalu, apa bukti kuat untuk dugaan keterlibatan Irwandi Yusuf?
Ali mengatakan bukti-bukti di dalam proses persidangan minimal dua alat bukti selain saksi, kemudian dokumen serta alat bukti petunjuk. Ali Fikri membantah pernyataan Irwandi Yusuf yang disampaikannya di sebuah acara bahwa yang bersangkutan dijebak dan merasa ada orang yang memanfaatkan situasi hingga menginginkan dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
“Kami membantah itu. Itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang disampaikan oleh Irwandi Yusuf pada suatu acara, yang kami juga menerima audio maupun video yang saya kira beredar di masyarakat Aceh. Bahwa yang KPK lakukan saat itu benar-benar berdasarkan alat bukti. Terbukti sudah diuji, bahkan sampai tingkat Mahkamah Agung,” tegasnya.
Menurutnya jika memang perkara tersebut tidak memiliki alat bukti maka tentu terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, tetapi faktanya hakim tingkat pertama, hakim tingkat kedua, dan sampai di tingkat Mahkamah Agung: Hakim majelisnya berpendapat sama bahwa ada cukup alat bukti dugaan perbuatan dari terdakwa Irwandi Yusuf pada saat itu. Oleh karena itu, Ali mengatakan tentu tidak ada hal yang bisa dibantah kembali oleh Irwandi Yusuf dengan menyampaikan di ruang publik bahwa dia tidak bersalah dan sebagainya.
“Ini artinya, justru menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah menyesali dan tidak pernah jera dengan hukuman yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung,” imbuhnya.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MATA), Alfian mengatakan posisi Izil Azhar sebagai DPO sejak tahun 2018. Artinya, ada proses valid penyidikan bahwa sesuai dengan keterangan para pihak yang sudah dipanggil, ada indikasi penyuapan atau gratifikasi. Ketika itu, KPK juga melakukan proses pemanggilan yang bersangkutan mulai dari pemanggilan pertama, kedua, ketiga, dan terakhir statusnya DPO.
“Nah, secara waktu memang DPO ini sudah sangat lama. Dalam catatan kami, KPK saat itu ada lima DPO termasuk salah satunya Harun Masiku,” ujarnya.
Tahun 2020, MATA menyurati KPK untuk meminta proses penindakan terhadap orang-orang yang sudah ditetapkan DPO. Pada saat itu KPK beralasan bahwa negara dalam keadaan Covid-19 atau darurat bencana sehingga KPK tidak bisa melakukan pergerakan apapun termasuk juga di Aceh.
“Nah, dalam penangkapan kemarin kita sangat berharap dan percaya KPK akan melakukan proses penelusuran. Bahwa kasus tindak pidana korupsi itu tidak berdiri sendiri, tetapi lebih dari satu orang. Itu yang harus dipahami. Pengalaman selama ini, proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK adalah menelusuri siapa saja yang menikmati aliran dana tersebut. Siapapun penerima aliran dana tersebut wajib ditetapkan sebagai tersangka dan diproses secara hukum,” tegasnya.
Alfian mengatakan dari keterangan KPK termasuk dari BAP KPK sendiri bisa diketahui bahwa Izil Azhar adalah salah satu perantara dengan perusahaan.
“Kita belum tahu apakah dia statusnya orang yang ditempatkan sebagai perantara atau memang inisiatif dia sendiri. Nah, yang jelas kita tahu bahwa uang yang sudah dia terima itu mengalir bukan hanya kepada satu orang. Oleh karena itu, kita mendorong KPK untuk mengembangkan kasus ini secara utuh. Siapapun yang menerima aliran dana, wajib dilakukan penetapan tersangka,” tegasnya.
MATA sudah melakukan koordinasi dengan para aktivis nasional yang isunya juga sama, yaitu menyangkut soal kerja-kerja aktivis anti korupsi untuk mengawal dan mengamati terus perkembangan kasus ini. Dia berharap proses pengungkapannya harus secara utuh, mulai dari hulu sampai ke hilir.
“Jadi, tidak ada upaya-upaya atau orang-orang yang akan diselamatkan nantinya. Ini kan pengalaman proses sidik kasus atau pengungkapan kasus oleh aparat penegak hukum selama ini. Nah, dalam kasus ini kita berharap tidak demikian. Kita berharap pola KPK itu lebih maju dibandingkan dengan kerja kepolisian dan kejaksaan saat ini. Kita akan menunggu perkembangan selanjutnya. Kita dorong dan kawal kasus ini,” imbuhnya.
Apalagi menurut Alfian, kasus ini tidak hanya menjadi atensi publik Aceh, tetapi juga nasional. Ini karena dari lima DPO, salah satunya sudah ditangkap oleh KPK. (Lia Dali)