Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meminta PT PEMA ENERGI bertanggung jawab pencemaran yang terjadi di Sungai Mati Leubok Pusaka di Gampong Leubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara pada Jumat (09/12/2022) lalu.
Pemerintah Aceh juga diminta agar tidak tutup mata dan segera mengambil langkah tegas, karena ini menyangkut dengan kehidupan warga yang tinggal di sekitar sungai tersebut.
Pencemaran yang terjadi di sungai tersebut tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, juga berdampak serius terhadap kesehatan manusia, karena sumber air bersih warga diperoleh dari sungai tersebut. Selain juga kebutuhan air untuk pertanian dan perkebunan juga berasal dari sungai yang tercemar limbah itu.
Dampak serius lainnya akibat pencemaran membuat ikan yang ada di sungai tersebut mati. Bahkan lebih parah lagi, di sungai itu termasuk wilayah konservasi ikan betutu yang wajib dilindungi, bila sungai terus tercemar dan tanpa terkendali ikan tersebut juga bisa terancam punah.
Betutu (Oxyeleotris marmorata) dalam bahasa inggris disebut sebagai marble goby atau marble sleeper, yang merujuk pada pola warna di tubuhnya yang serupa batu pualam kemerahan. Betutu juga mirip ikan gabus, jenis ikan air tawar yang diminati hingga pasar luar negeri. Ikan ini juga menjadi sumber ekonomi warga yang tinggal di kawasan sungai tersebut.
“PT PEMA ENERGI harus bertanggung jawab atas kejadian terjadi pencemaran tersebut, karena ini merupakan sumber penting bagi masyarakat, apa lagi di sungai tersebut masuk wilayah konservasi ikan betutu,” kata Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Salihin, Selasa (20/12/2022).
Dampak pencemaran tidak hanya terjadi di Sungai Mati Leubok Pusaka, tetapi juga berpengaruh luas terhadap kualitas air yang mengalir sampai ke sungai Arakundo yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jambo Aye.
“Sungai Arakundo merupakan sumber air bersih masyarakat sekitar, juga menjadi sumber mata pencaharian warga setempat,” jelasnya.
Kata Om Sol, Gampong Leubok Pusaka dan Buket Linteung merupakan desa yang merasakan dampak langsung limbah tersebut. Karena kedua daerah ini berada sangat dekat dengan sungai, bahkan jalur lintasan warga yang terdekat menuju ke kedua desa tersebut.
Berdasarkan catatan WALHI Aceh, pencemaran limbah di sungai tersebut bukan yang pertama kali terjadi. Sebelum perusahaan migas yang sekarang dioperasikan oleh PT.PEMA ENERGI, jauh sebelumnya dampak pencemaran juga dilakukan oleh beberapa perusahan lain, yaitu PT Mobil Oil, PT Exxon Mobil dan PT PHE.
“Artinya pencemaran di sungai tersebut sudah lama terjadi, namun tidak ada upaya penanggulangan secara baik, baik dari perusahaan maupun pemerintah,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh WALHI Aceh dari warga terdampak, dari sekian banyak perusahaan yang mengeruk minyak/gas alam di wilayah tersebut, masyarakat hanya merasakan dampak pencemaran lingkungan.
Alih-alih merasakan manfaat dari adanya perusahaan migas, justru setiap tahunnya jika hujan dengan intensitas deras terjadi maka luapan limbah migas akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Pencemaran tersebut membuat tanaman pertanian gagal panen, ini terjadi karena air yang bercampur limbah merendam tanaman warga.
“Bisa dibayangkan dengan kondisi masyarakat miskin yang hanya mengandalkan bercocok tanam sebagai mata pencaharian, sungai tempat mencari ikan tercemar limbah akibat kecerobohan perusahaan,” tegasnya.
Oleh karena itu, WALHI Aceh mendesak PT PEMA ENERGI harus bertanggung jawab terhadap pencemaran lingkungan tersebut. Pihak perusahaan harus segera mengatasi agar limbah dari perusahaan tersebut tidak lagi mencemari sungai yang menjadi sumber kehidupan warga itu di sana.
Pihak perusahaan juga diminta agar segera memperbaiki sistem pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh beroperasinya perusahaan. Sehingga keberadaan perusahaan tidak merugikan masyarakat, jangan malah semakin menambah persoalan baru bagi warga yang tinggal di sekitar sungai tersebut.
Selain itu, WALHI Aceh juga meminta Pemerintah Aceh agar tidak menutup mata atas pencemaran lingkungan yang terjadi di sungai tersebut. Pemerintah juga harus memberikan teguran keras dan menghentikan sementara waktu operasional perusahaan sampai proses evaluasi dampak buruk pencemaran selesai dilakukan.