Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali, mengatakan di Aceh penggunaan ganja untuk medis bukan hal baru karena MUI Aceh Tahun 1993 sudah mengeluarkan fatwa terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.
“Fatwa itu sudah ada. Cuma sekarang ini perlu kita rumuskan secara lebih detail. Perlu kita terjemahkan dengan lebih konkrit dan spesifik terhadap implementasi penggunaan ganja untuk keperluan medis tersebut.” Demikian disebutkannya dalam wawancara live bersama KBR Antero dengan tema “Jalan Menuju Legalitas Ganja” (1/7/2022).
Tgk. Faisal Ali menambahkan pemerintah Indonesia bisa saja menggunakan dasar fatwa MUI Aceh tahun 1993 sebagai rujukan terkait wacana penggunaan ganja untuk keperluan medis karena sudah menjadi sebuah keputusan atau fatwa.
“Saya rasa tidak ada masalah karena sudah menjadi sebuah keputusan. Kalaupun sekarang ini kita butuh kajian yang lebih mendalam, itu sangat dibenarkan,” ucapnya.
Dia menjelaskan secara umum masyarakat memahami bahwa ganja haram hukumnya. Namun, ada pengecualian jika itu untuk medis. Kendati demikian, dia mengatakan perlu dirumuskan kembali penggunaannya serta berapa persentase yang boleh digunakan.
“Regulasi dari pemerintah sangat diperlukan sehingga pengecualian dalam konsep fiqih terhadap penggunaan ganja dalam hal medis ini, bisa dijalankan dengan tepat dan sesuai ketentuan,” ujarnya.
Sementara terkait PBB sudah mencabut ganja dari daftar Narkotika dan mulai banyak negara yang sudah melegalkan ganja, menurutnya di luar keperluan untuk medis, banyak hal yang harus pertimbangkan, misalnya, dalam hal penanaman, sumber daya manusia, dan efek jangka panjang.
“Jadi, bukan hanya masalah halal dan haramnya saja, tetapi juga efek dari penggunaan ganja itu perlu didalami dengan sangat seksama sehingga penggunaan ganja selain untuk medis tidak akan membuat masalah yang lebih besar di masa yang akan datang,” terangnya.
Mengenai peluang MPU Aceh akan melakukan update dan kajian terkait penggunaan ganja yang lebih luas selain keperluan medis, misalnya, kuliner atau penggunaan yang terbatas untuk hal lain, menurutnya peluang tersebut sangat terbuka, tetapi tergantung legalitas dari pemerintah.
“Sangat terbuka untuk kita kaji, tetapi sangat tergantung pada legalitas dan lampu hijau dari pemerintah. Selama ini kita masih menggunakan Undang-undang yang memasukkan ganja ke dalam jenis yang dilarang di Indonesia. Jadi, tergantung kepada kebijakan pemerintah. Kita akan melihat bagaimana sikap pemerintah dalam merespon status ganja ini dikemudian hari.” ujarnya.
Sementara itu anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi, mengatakan wacana legalisasi ganja untuk keperluan medis merupakan momentum bagi Indonesia dan tentu juga bagi Aceh yang memang merupakan salah satu daerah penghasil ganja terbaik di dunia.
“Kita berharap pemerintah melalukan usaha-usaha dan proses untuk kemudian bisa melegalkan ganja, terutama untuk kepentingan medis.” tambahnya.
Namun, dia menegaskan jika penggunaan ganja nantinya dilegalkan, tidak berarti membuat ganja bisa ditanam secara bebas dan digunakan secara sembarangan, misalnya, untuk kuliner dan sebagainya.
“Artinya, tidak juga ketika ganja dilegalkan kemudian bisa sembarangan, hantam kromo atau bebas sebebas-bebasnya. Tidak, karena tentu masih ada juga mudaratnya dari ganja itu. Masih tetap terbatas hanya untuk kepentingan medis, dilakukan oleh otoritas tertentu, oleh orang-orang tertentu, dan digunakan juga secara ketat. Jadi, nanti ada aturan regulasi yang memang ketat,” ujarnya.
Syech Fadhil menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja masuk ke dalam narkotika golongan I yaitu, golongan obat-obatan yang bisa menimbulkan efek ketergantungan serta kecanduan.
“Memabukkan dan dilarang secara agama, tetapi kalau kemudian ini dikhususkan dan dibolehkan secara ekslusif, mungkin ini akan baik, akan ada satu perkembangan terbaru. Apalagi MUI ataupun MPU Aceh sudah memfatwakan atau merekomendasikan ganja demi kepentingan medis. Selain itu, revisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2022-2024,” ujarnya.
Menurutnya peristiwa terakhir tentang seorang ibu bernama Santi yang meminta pertolongan ganja medis untuk putrinya, Fika, yang mengidap celebral palsy, patut membuat kita harus lebih serius membicarakan hal ini. (Lia Dali)