Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Farid Nyak Umar, berharap Banda Aceh memiliki perpustakaan representatif yang menjadi rujukan bagi daerah lain di Aceh.
Harapan tersebut ia sampaikan dalam webinar internasional yang mengusung tema Perpustakaan dan Pustakawan sebagai Pilar Iiterasi Informasi Daerah yang diselenggarakan DPRK Banda Aceh, Senin (23/08/2021).
Farid mengatakan, kegiatan itu sangat penting untuk mendapatkan masukan yang komprehensif dari berbagai pihak mengenai penyelengaaraan perpustakaan di Kota Banda Aceh ke depan. Menurutnya perpustakaan dan pustakawan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan keduanya saling membutuhkan.
Oleh karena itu kata Farid, diperlukan pengaturan yang lebih spesifik dalam bentuk qanun mengenai penyelenggaraan perpustakaan di Kota Banda Aceh, ini sesuai arahan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Dengan adanya qanun tersebut, nantinya pemko dapat menyediakan pelayanan perpustakaan kepada masyarakat secara cepat dan tepat.
Kemudian lanjut Farid, akan tersedianya pengelolaan dan pengembangan perpustakaan di kota sebagai wahana pendidikan, penelitian, sumber informasi, iptek, kesenian, wahana pelestarian budaya daerah dan rekreasi, sesuai karakteristik budaya daerah (local wisdom). Dan membudayakan gemar membaca dan memperluas wawasan serta pengetahuan, guna mencerdaskan kehidupan masyarakat.
“Atas nama pimpinan dewan mendukung penuh kehadiran regulasi atau qanun penyelenggaraan perpustakaan di Kota Banda Aceh yang diinisiasi oleh Komisi I DPRK, kita berharap agar Banda Aceh menjadi pusat ilmu pengetahuan atau knowledge center dan menjadi rujukan bagi daerah lain,” kata Farid.
Farid juga meminta agar pemko bisa meng-upgrade perpustakaan karena sudah seharusnya Banda Aceh memiliki perpustakaan yang lebih representatif dan dikenal oleh masyarakat serta memiliki ciri khas tersendiri. Pihaknya juga meminta agar pemko memberikan dukungan terhadap kemajuan dan pengembangan perpustakaan.
”Baik itu dukungan anggaran untuk gedung pustaka yang nyaman dan standar internasional, maupun dukungan untuk pengadaan buku terbaru dan ter-update setiap saat dan juga dukungan anggaran untuk perpustakaan modern digital library, selain itu, juga dukungan untuk pelatihan dan pengembangan capacity building bagi tenaga kepustakaan,” ujarnya.
Menurut Farid, layanan di perpustakaan tidak hanya proses pinjam meminjam buku saja, tetapi harus ada kegiatan yang menarik minat anak-anak muda ke pustaka. Pustakawan harus mampu membaca apa yang digemari dan dibutuhkan, salah satunya tersedianya warung kopi dan internet kencang di pustaka.
“Kami juga berharap agar perpustakaan Kota Banda Aceh ke depan juga bisa menerbitkan dan mencetak buku-buku yang ditulis oleh masyarakat Banda Aceh,” tuturnya.
Ketua komisi I DPRK Banda Aceh Musriadi mengatakan, selama ini permasalahan perpustakaan terutama pada sekolah-sekolah di Banda Aceh terletak pada sumber daya manusianya. Pengelolaan perpustakaan umumnya dilakukan oleh guru sehingga berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan perpustakaan.
“Pengelola perpustakaan ini harus dari lulusan sarjana perpustakaan, ke depan ini harus diatur dalam qanun. Karena ini menyangkut dengan SDM. Sedangkan koleksi buku insyaallah sudah lumayan bagus,” katanya.
Menurut Musriadi, dalam perspektif masyarakat, semua orang bisa menjadi seorang pustakawan, padahal untuk menjadi seorang pustakawan memiliki disiplin ilmu tersendiri.
Politisi PAN ini juga mengatakan, yang tak kalah penting pengelolaan perpustakaan juga perlu melibatkan masyarakat dan komunitas agar lebih berkembang, terutama untuk perpustakaan umum. Misalnya organisasi profesi kepustakawanan dan lulusan jurusan Ilmu Perpustakaan di perguruan tinggi dilibatkan dalam mengambil kebijakan atau proses kerja perpustakaan.
“Selama ini perpustakaan terkesan berjalan dengan sendirinya, tanpa ada kepedulian dari pemerintah dan masyarakat,” ungkap Musriadi.
Tumbuhnya taman baca lanjut Musriadi, akibat tidak bergeraknya pemerintah untuk merangkul warga dalam mengelola perpustakaan.
“Kami menyarankan agar masyarakat dan komunitas dalam mengelola perpustakan terutama pustaka kecamatan dan pustaka gampong, bisa diajak proaktif mulai dari penyusunan rencana kerja, dukungan anggaran, pelaksanaan kegiatan, serta evaluasi rencana kerja di perpustakaan,” katanya.
Ia menambahkan, dengan hadirnya qanun penyelenggaraan perpustakaan nanti diharapkan dapat lebih melibatkan organisasi profesi dan jurusan Ilmu Perpustakan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan di bidang perpustakaan. Selain itu, implikasi dari penerapan qanun tersebut yakni dapat memperkuat kelembagaan perpustakaan itu sendiri, perpustakaan dapat dikelola secara profesional dan memiliki dasar dalam melaksanakan fungsinya untuk melayani masyarakat. Lalu, kebijakan baik di sekolah ataupun pemerintahan akan lebih peduli terhadap perpustakaan di lingkungannya dan tidak ragu dalam memberikan pendanaan.
“Kemudian qanun tersebut juga akan meningkatkan kesadaran stakeholder, pengelola perpustakaan, dan masyarakat bahwa perpustakaan merupakan institusi yang mendorong peningkatan SDM masyarakat,” tutur Musriadi.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi I DPRK Banda Aceh ini berlangsung secara daring dan turut menghadirkan Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman; Ketua Komisi I Musriadi Aswad; dan para pembicara yaitu Timbalan Bahagian Penyelidikan, Pembelajaran dan Rujukan Perpustakaan Tun Abdul Razak University Teknologi Mara, Mohd Ismail Bin Abidin; Kepala Pusat Data dan Informasi Perpustakaan Nasional, Taufiq Abdul Gani; aktivis perpustakaan, Zikrayanti; dan Pembina Forum Aceh Menulis, Yarmen Dinamika, dan dipandu oleh Tenaga Ahli Komisi I DPRK Raihal Fajri.