Peninggalan arkeologi sarat dengan nilai-nilai Islam yang tersebar hampir di seluruh Aceh dan khususnya Banda Aceh dan Aceh Besar punya potensi besar untuk dijadikan cagar budaya serta daya tarik wisatawan jika dikelola dengan baik serta sistematis.
“Peninggalan arkeologi yang sangat beragam itu bisa menjadi magnet objek wisata yang dapat menarik para wisatawan domestik maupun mancanegara,” ujar Kolektor Naskah Kuno Aceh, Tgk Tarmizi A. Hamid saat berbincang-bincang dengan wartawan terkait HUT ke-809 Kota Banda Aceh, Minggu (27/4).
Menurutnya, sejauh ini benda cagar budaya yang terdapat di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar belum mendapatkan perhatian dan pengelolaan yang optimal sebagai aset pariwisata. Padahal, seluruh peninggalan arkeologi peradaban Islam itu tidak ternilai harganya dalam konteks keilmuan, sebab hanya sekali dibuat pada suatu peristiwa di masa lampau.
Disebutkannya, sejarah memang tidak bisa diabaikan begitu saja karena sejarah itu sendiri sebagai guru yang paling pertama tempat kita berpijak yang berdasarkan kejadian demi kejadian secara kronologis, silih berganti yang sesuai dengan sirkulasi alam. Sejarah juga sebagai alat bukti adanya kehidupan masa lalu. Aceh membuktikan dirinya yang pernah mengukir prestasi sejarahnya yang sangat gemilang di abad-abad yang masa lalu, tentu sejarah itu sendiri ada kemajuan dan ada juga kemundurannya.
“Itulah sebabnya benda-benda cagar budaya sebagai bukti sejarah kemajuan Islam yang otentik yang terserak di Banda Aceh dan Aceh Besar wajib dilestarikan sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Ketika warisan leluhur yang berharga ini dikemas dan didesain secara professional, maka tidak mustahil Aceh akan menjadi pintu masuk bagi turis mancanegara yang setara dengan Yunani, Mesir dan negara-negara lain.
Tarmizi yang juga Ketua Lembaga Rumoh Manuskrip (Ruman) Kuno Aceh ini menyatakan agar benda-benda cagar budaya tersebut bisa menjadi aset wisata yang luar biasa serta bernilai ekonomis dan referensi keilmuan, dibutuhkan grand desain dan inventarisir serta identifikasi cepat yang dilakukan oleh pakar keilmuan arkeologi.
“Bila pembangunan industri pariwasata arkeologi ini terwujud di Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai gudangnya situs-situs bersejarah, tidak diragukan lagi sektor pariwisata langka ini, dapat mengalahkan sektor andalan devisa daerah lainnya, dan menjadi daya tarik tersendiri bagi tamu-tamu asing terutama bagi mereka para pemburu memori. Ini juga menjadi bukti nyata bahwa Aceh adalah pusat arkeologi Asia Tenggara serta pusat referensi peradaban Islam di Asia Tenggara,” ungkapnya.
Aceh, tambah Tarmizi, tidak perlu larut dan membicarakan kehebatan dan kejayaan masa lampau tapi yang perlu segera dilakukan hari ini adalah merestorasi objek arkeologi itu menjadi aset pariwisata. “Coba perhatikan struktur kontruksi dan desain bangunan Gedung Bank Indonesia Banda Aceh atau SMAN 1 Banda Aceh. Itu adalah magnet yang paling berharga. Ini baru contoh kecilnya,” beber Tarmizi.
Benda cagar budaya, lanjut Tarmizi A Hamid, merupakan benda yang tidak dapat berbicara apa-apa sehingga tidak memberi daya tarik apapun bagi para wisatawan. “Benda cagar budaya itu, baru dapat berdaya guna tinggi bagi pariwisata apabila dikemas dengan baik,” tegasnya.
Tokoh budaya Aceh ini mencontohkan, pengemasan benda cagar budaya dapat dilakukan dengan menyediakan informasi tentang lokasi peninggalan arkeologi dalam bentuk peta atau papan nama penunjuk jalan sehingga memudahkan masyarakat untuk berkunjung ke tempat tersebut. “Tapi jangan dibuat asal-asalan,” terangnya.
Selain itu, kata Tarmizi, pengemasan benda cagar budaya juga dapat dilakukan dengan memberi makna pada benda tersebut dalam bentuk kisah yang menarik dan misterius. “Untuk menjelaskan hal ini dibutuhkan pemandu yang harus bisa membawa para wisatawan ke zaman dahulu untuk menyelami peristiwa yang terjadi pada saat itu,” jelasnya.