Ketua Komisi VI DPRA, Tgk H Irawan Abdullah, SAg meminta Pemerintah Aceh agar serius memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak untuk dapat segera diterapkan di Aceh. Hingga saat ini ketentuan itu belum dijalankan walau peraturan yang ada sudah mengaturnya.
Menurutnya hal itu sesuai dengan perintah pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
Selain itu juga termaktup dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, Pasal 105 ayat (1) yaitu zakat yang dibayarkan kepada Badan BMA atau Badan BMK menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan dari wajib pajak.
“Hingga saat ini zakat sebagai pengurang pajak sebagaimana di atur dalam UUPA dan Qanun Baitul Mal belum dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Akibatnya masyarakat yang terkena imbasnya, yaitu harus membayar zakat dan juga pajak,” kata Irawan Abdullah, Rabu (27/01/2021).
Tgk Irawan menjelaskan sudah menjadi kewajiban bagi umat Muslim untuk menunaikan zakatnya. Dan jika memenuhi syarat sah dan syarat rukun berzakat namun tidak mengerjakannya, akan mendapatkan ganjaran dosa.
Selain itu zakat dapat menjadi pengurang pajak di SPT Tahunan. Salah satu kewajiban yang dilaksanakan oleh umat Muslim ini dapat menjadi pengurang pajak pada saat pelaporan SPT Tahunan tersebut.
Hal itu juga didasari pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 22 dan Pasal 23 ayat 1-2. Dalam pasal 22 disebutkan zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Sedangkan pada pasal 23 berbunyi Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki (pemberi zakat), dan bukti tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Tgk Irawan Abdullah menambahkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, pasal 4 ayat (3) huruf a 1 dan pada pasal 9 ayat (1) huruf G, juga menyebutkan hal yang demikian itu.
“Tujuan dari semua aturan itu adalah agar wajib pajak yang beragama Islam tidak terkena beban ganda. Selain itu, aturan ini juga mendorong kepedulian terhadap sesama serta meningkatkan taat beragama,” kata Tgk H. Irawan Abdullah SAg, yang juga Sekretaris MPTW PKS Aceh.
Ia menegaskan jika diperlukan Pemerintah Aceh dapat membentuk tim khusus percepatan pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak segera berlaku di Aceh. Dan Aceh haruslah menjadi pelopor dalam hal tersebut karena secara legal formal diatur dalam peraturan negara.
“Oleh karena itu kami menuntut keseriusan Pemerintah Aceh untuk segera merealisasikan amanah qanun dan undang-undang terkait zakat sebagai pengurang pajak segera berlaku di Aceh. Dan zakat sebagai pengurang pajak harus dimulai dari Aceh karena zakat yang dikumpulkan oleh Baitul Mal Aceh sama dengan pajak sebagai Penghasilan Asli Daerah (PAD),” kata Tgk Irawan Abdullah.
Wakil Ketua F-PKS DPR Aceh itu menambahkan berdasarkan informasi yang diperolehnya tentang materi zakat sebagai pengurang zakat di Aceh (implementasi pasal 192 UU PA) bahwa saat ini sedang dibahas pada tingkat kementerian dan usulan tersebut sudah sampai di tingkat Kementerian Hukum dan HAM.
Dan secara subtansial materinya disetujui akan tetapi ditolak untuk masuk pada PP Klaster Kemudahan Berusaha yang merupakan turunan UU Cipta Kerja. Sehingga diperlukan dukungan serius dari Pemerintah Aceh untuk hal tersebut. Apalagi pembahasan RPP Cipta Kerja dijadwalkan berakhir 02 Febuari 2021 mendatang.
“Kami meminta kepada Pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur Aceh untuk segera menyurati Pemerintah Pusat melalui kementerian terkait supaya klausul zakat sebagai pajak dapat dilaksanakan di Aceh,” pungkas Tgk Irawan Abdullah.