Penanganan terorisme di Indonesia masuk dalam kategori pidana, yang ditangani oleh sistem penegakan hukum pidana terintegrasi (integrated criminal justice system), sehingga TNI tidak mungkin masuk dalam ranah ini.
“Saya setuju TNI perlu dilibatkan dalam pencegahan bersama BNPT, sehingga tidak menjadi masalah hukum dan profesionalitas TNI.” Demikian Pernyataan Dr. M. Gaussyah, SH., M.H, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Syahkuala, Banda Aceh, dalam Webinar yang bertema ‘Menimbang Keterlibatan TNI dalam Penindakan Terorisme di Indonesia’ pada 21 Oktober 2020.
Gaussyah menyebutkan bahwa doktrin pertahanan dan keamanan berbeda, sehingga tidak perlu memaksakan TNI untuk masuk dalam ranah penegakan hukum. Jika Rancangan Peraturan Presiden ingin TNI dilibatkan dalam ranah pencegahan dengan bekerjasama dengan BNPT, maka tidak akan ada pertentangan.
Dalam hal terjadi pelibatan TNI, Gaussyah mengingatkan agar tidak tumpang tindih dengan instansi lain, tidak terjadi dualism komando dan dilakukan pengawasan.
Sosiolog Dr. Otto Syamsuddin Ishak yang juga merupakan Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala dalam paparannya mendukung peran TNI dalam aspek pencegahan.
“TNI tidak perlu berada di garis depan, tetapi memberikan dukungan untuk upaya preventif, yang tidak akan berbenturan dengan masalah hukum di masyarakat dan HAM,” ungkap Otto.
Namun Otto juga melihat kemungkinan peran TNI ketika terjadi pengingkatan eskalasi ancaman dari ancaman keamanan menjadi ancaman pertahanan, karena isu terorisme merupakan isu yang berkelanjutan dan bisa meningkat atau menurut dari ancaman keamanan menjadi ancaman pertahanan dan sebaliknya.
“Yang penting jelas siapa yang menentukan status tersebut dan siapa yang berwenang menangani, bukan ditentukan oleh instansi TNI sendiri,” pungkas Otto.
Berbeda dengan kedua pembicara di atas, Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie menyatakan bahwa TNI sepatutnya hanyak dilibatkan untuk penindakan sebagai pilihan terakhir (last resort) dan ketika ancaman atau aksi yang dihadapi melampaui kapasitas aparat kepolisian (beyond police capacity). Pilihan ini mengingat pada ranah pencegahan banyak pihak lain yang relevan yang berada di pemerintah dan masyarakat. Menurut Ikhsan, saat ini Rancangan Perpres masih memiliki sejumlah masalah, antara lain substansi yang bertentangan dengan Undang-undang, adanya fungsi penangkalan yang tidak diatur dalam UU No 5/1018, tidak jelasnya pengaturan tentang keputusan dan kebijakan politik negara dalam pengerahan TNI, pengaturan tentang eskalasi ancaman dan adanya sumber anggaran di luar APBN.
Ikhsan juga menyoroti beragam pandangan negatif dalam pembahasan Rancangan Peraturan Presiden. “Perhatian masyarakat tidak bisa disimplifikasi menjadi isu sikap atau sentimen anti TNI dan isu ego sektoral instansi lain. Masyarakat mengkritisi rancangan ini karena ada potensi pertentangan dengan Undang-undang dan kepentingan untuk menjaga reformasi TNI,” tutup Ikhsan.