Dana hibah dan bantuan sosial (bansos) di Aceh semakin besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, dana hibah/bansos mencapai Rp 1,8 triliun, tetapi jumlah yang besar tersebut belum secara signifikan memperbaiki angka kemiskinan.
Hal ini dikemukakan oleh Peneliti Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), Renaldi Safriansyah dalam paparannya membahas hasil analisis belanja hibah/bansos Aceh tahun 2013. Diskusi dihadiri oleh akademisi, perwakilan Pemerintah Aceh, aktivis dan mahasiswa difasilitasi PECAPP di 3 in 1 cafe, Banda Aceh, Rabu 11 Desember 2013.
Menurut Renaldi, belanja hibah/bansos yang bertujuan untuk pemerataan dan azas persamaan ekonomi termasuk untuk meredam potensi konflik, belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Aceh secara riil. Padahal belanja tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 dana hibah/bansos Aceh hanya Rp 159 miliar dan menjadi Rp 1,3 triliun pada tahun 2011. “Tahun 2013 menjadi Rp 1,8 triliun, tujuh kali lipat dibanding 2007,” ujarnya.
Secara nasional, belanja per kapita hibah/bansos Aceh menduduki peringkat kedua setelah Papua Barat. Angka per kapita Aceh sebesar Rp 340 ribu, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya sebesar Rp 172 ribu.
Analisis PECAPP, kata Renaldi, belanja hibah/bansos Aceh umumnya dikelola oleh dinas pendidikan, dinas keuangan dan biro keistimewaan Aceh. Dari sisi peruntukkan sebagian digunakan untuk beasiswa, bantuan kepada lembaga sosial dan operasional pendidikan serta kesejahteraan guru.
Renaldi mengungkapkan, belanja hibah yang besar tersebut belum mampu mengakselerasi penurunan angka kemiskinan di Aceh. Pada tahun 2012, angka kemiskinan di Aceh sebesar 19,46 persen, menduduki peringkat kelima secara nasional. Rata-rata Indonesia sebesar 11,96 persen. Pada tahun 2011, peringkat kemiskinan Aceh menduduki urutan keenam secara nasional, dengan angka 19,57 persen. “Artinya meningkatnya dana hibah/bansos belum mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat Aceh.
PECAPP merekomendasikan evaluasi menyeluruh terhadap program hibah dan bansos, baik sasaran penerima manfaat maupun mekanisme penyalurannya. “Pendekatan bansos/hibah dalam pemberdayaan dan kesejahteraan sosial harus dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat miskin,” kata Renaldi.
Sementara itu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Jamaluddin Muku mengakui kekacauan alokasi dana hibah dan bansos. Dia membenarkan hasil analisis yang dilakukan oleh PECAPP. “Apa yang disampaikan oleh PECAPP sudah benar.
Menurutnya dana hibah/bansos pada prinsipnya haruslah menguntungkan daerah, misalnya membantu pendidikan seperti pembangunan fasilitas beberapa perguruan tinggi di Aceh. Tetapi dalam beberapa hal, perencanaan penyaluran masih belum baik, buktinya belum meningkatkan kesejahteraan
Jamaluddin menilai diperlukan sebuah perencanaan yang baik ke depan dan data yang kuat dalam mengalokasikan belanja hibah/bansos kepada masyarakat. “Menurut saya pemerintah harus memberi pancing kepada masyarakat, bukan ikannya,” katanya bertamsil.
Perwakilan masyarakat Jalaluddin Husen mengatakan evaluasi sangat diperlukan dalam mengalokasikan dana hibah/bansos di Aceh. “Jangan saling menyalahkan, tapi mari sama-sama memperbaiki kekeliruan sistem sebelumnya,” ujarnya.