Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, mengharapkan agar semua pihak bertanggung jawab untuk menjaga warisan adat dan budaya Aceh.
Wali Nanggroe mengatakan, Aceh di masa lampau pernah berjaya pada saat semua pihak bersatu menegakkan hukum adat yang berlandaskan syariat Islam. Ia berharap, malam Anugerah Wali Nanggroe itu dapat jadi momentum untuk merajut kejayaan Aceh kembali.
Hal tersebut disampaikan Malik Mahmud, pada acara Malam Anugerah Wali Nanggroe II Tahun 2019, di Aula Keurukon Katibul Wali Naggroe, Aceh Besar, Sabtu, (14/12).
“Harapan saya Anugerah Wali Nanggroe ini dapat memberi motivasi dan rasa bangga untuk terus mengabdi bagi kemajuan peradaban Aceh dengan menjaga dan melestarikan adat dan budaya,” kata Malik Mahmud.
Anugerah Wali Nanggroe merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap aktivitas menjaga dan melestarikan di bidang seni adat dan budaya Aceh. Anugerah tersebut diberikan kepada kelompok pemerintahan adat, perseorangan maupun kelompok masyarakat.
Sementara itu Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menjelaskan, adat dan budaya adalah kekayaan alamiah yang tak ternilai harganya dan sebuah warisan leluhur yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Adat dan budaya Aceh, kata dia, juga dilandasi pada ajaran Islam.
“Agama Islam menjadi perekat sekaligus pengendali semua budaya Aceh yang berasal dari beragam etnis atau suku, antara lain Aceh, Alas, Aneuk Jame, Gayo, Kluet, Tamiang, Singkil, Simeulue, dan sebagainya,” ujar Nova.
Nova menuturkan, keberagaman adat dan budaya merupakan aset terbesar bagi Aceh
dari segi kekayaan budaya tak benda. Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk terus
melestarikannya.
“Aceh juga memiliki banyak warisan budaya berupa benda, bangunan, situs, dan kawasan cagar budaya. Warisan budaya ini merupakan peninggalan masa prasejarah, klasik, Islam, kolonial, serta bencana gempa dan tsunami atau smong,” kata Plt Gubernur.
Dalam kesempatan itu, Plt Gubernur juga mengajak semua pihak untuk terus mendukung setiap gerak langkah Lembaga Wali Nanggroe sebagai upaya menguatkan adat dan budaya Aceh. Ia mengatakan, Lembaga Wali Nanggroe merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki Aceh.
“Lembaga Wali Nanggroe adalah salah satu bentuk kekhususan Aceh sebagai amanah dari kesepakatan damai MoU Helsinki. Tidak ada daerah maupun provinsi lain di Indonesia yang memiliki lembaga seperti ini. Oleh karena itu, lembaga Wali Nanggroe harus menjadi kebanggaan bersama bagi kita dan anak cucu,”ujar Plt Gubernur.
Nova berharap, lembaga Wali Nanggroe dapat terus berdiri tegak sebagai pemersatu masyarakat Aceh, dalam menjaga kesatuan dan kelestarian nilai-nilai adat dan budaya yang kental dengan nilai Islam.
Peraih Anugerah Wali Nanggroe
Adapun penerima Anugerah Wali Nanggroe, untuk Anugerah Tangloeng Nanggroe diberikan kepada lembaga adat dan kemukiman. Di antaranya, untuk kategori penyelenggaraan pemerintahan adat terbaik dianugerahkan kepada kemukiman Krueng Geukueh dari kabupaten Aceh Utara.
Kemudian, kategori penataan masyarakat adat dan budaya (peusaneut aneuk nanggroe) diraih oleh kemukiman Kinco, Kabupaten Aceh Barat dan kategori pengelolaan sumber daya alam (peutimang boinah nanggroe) diterima oleh kemukiman Lamteuba kabupaten Aceh Besar.
Selanjutnya, Anugerah Tudong Nanggroe, diberikan kepada kelompok masyarakat adat dan budaya. Untuk kategori pelestari kerajinan dan produk budaya (papah buet jaroe aneuk nanggroe) diraih oleh kelompok Kupiah Meukutop dari kabupaten Pidie. Kategori pelestari kesenian tradisi (papah peyasan nanggroe) diraih oleh kelompok Daman Meriah dari kabupaten Bener Meriah dan kategori pelestari lingkungan hidup berbasis kearifan lokal (papah seulingka nanggroe) diraih oleh kelompok Panglima Danau dari Kota Sabang.
Sementara Anugerah Dalong Nanggroe, diberikan untuk pelaku adat dan budaya secara perseorangan. Untuk kategori pengrajin warisan seni dan budaya (peusigak pusaka nanggroe) diraih oleh Dahlia Zainun dari Aceh Besar, kategori penjaga warisan adat dan budaya (peuhiroe peukateun nanggroe) diterima oleh T. Nur Iman dari Kota Langsa dan kategori penggiat kemanusiaan (peureumeun aneuk nanggroe) diterima oleh Desi Dwiyanti dari Aceh Tamiang.