Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk mengambil alih penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Computerized Tomography Scanner (CT Scan) Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh tahun anggaran 2008 sebesar Rp 39 miliar.
Permintaan GeRAK Aceh disampaikan melalui surat nomor 020/B/G-Aceh/II/2019, tertanggal 8 Februari 2019 perihal permohonan pengambil alihan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi CT Scan RSUZA yang ditujukan kepada Ketua KPK RI.
Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan permohonan pengambil alihan kasus yang sedang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh itu dilakukan mengingat adanya kabar proses pengusulan Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk diteruskan kepada Kejaksaan Agung sebagaimana pemberitaan media massa pada 23 Januari 2019 lalu.
“Atas dasar informasi tersebut, kita (GeRAK Aceh) sudah menyurati KPK agar segera mengambil alih penanganan kasus CT Scan RSUZA ini,” kata Hayatuddin Tanjung dalam siaran persnya.
GeRAK menduga pengusulan SP3 itu dapat bertentangan dengan prosedur hukum UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 2 dan 3, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan perbuatan dan delik formil dari tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka.
“Untuk itu, jika alasannya karena tersangka sudah mengembalikan kerugian keuangan negera, kemudian Kejati Aceh mengusulkan untuk menghentikan perkara, ini tidak logis, dan patut diduga adanya potensi lain yang sarat dengan kepentingan politik,” ujarnya.
Menurut Hayatuddin, usulan Kejati Aceh untuk penghentian perkara dugaan tindak pidana korupsi alat kesehatan RSUZA kepada Kejaksaan Agung merupakan sebuah tindakan usulan yang tidak logis dan merendahkan martabat hukum serta mengkebiri hak keadilan bagi pihak lain yang sebelumnya sudah diputuskan bersalah (rasa keadilan dan persamaan di mata hukum).
Hal ini juga dinilai akan berdampak tidak baik bagi kinerja institusi hukum, dan sebagaimana diketahui bahwa perkara ini merupakan salah satu perkara yang mendapat supervisi dari KPK-RI dari 3 perkara lainnya yang ditangani oleh Kejati Aceh.
Hayatuddin meyimpulkan, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara sepanjang adanya perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka delik perbuatan pidana tetap melekat dan harus dibuktikan serta dilimpahkan ke pengadilan, dan atas usulan yang dimohonkan oleh Kejati Aceh diharapkan supaya dapat ditolak atau tidak dikabulkan secara hukum.
Seperti diketahui juga, tambah Hayatuddin, dalam kasus ini Kejati Aceh telah menetapkan mantan Direktur RSUDZA Banda Aceh berinisial TM sebagai tersangka. Penetapan TM sebagai tersangka dilakukan bersamaan dengan penetapan TBE sebagai tersangka pada 1 Juli 2014.
Kejati Aceh sebelumnya juga telah menetapkan tiga tersangka baru yakni Ketua Pokja SU, dan sekretaris Pokja Mhr dan BI, Kuasa Direktur CV Mutiara Indah Permai. Dalam kasus ini negara mengalami kerugian senilai Rp15,3 milliar.
“Karena itu, GeRAK Aceh mendesak KPK-RI untuk dapat mengambil alih proses penanganan perkara dugaan korupsi Alat Kesehatan RSUZA Banda Aceh itu,” pinta Hayatuddin Tanjung.