Perilaku seks menyimpang melalui gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Bi-sex, Transgender) kian marak di Aceh akhir-akhir ini.
Hal itu berawal dari negara-negara Barat yang menganut paham liberal dan sekular, sehingga virus LGBT kini merambah Indonesia, bahkan Aceh.
“LGBT tidak ada tempat di Aceh. Itu adalah bentuk perilaku yang menyimpang dari kodrat manusia. Aceh harus membentengi diri dari virus LGBT,” kata Asrizal H. Asnawi, Ketua Fraksi PAN DPRA dalam Diskusi Publik bertema “Terimakasih Polisi” “Mempidanakan Perilaku Menyimpang LGBT” yang digelar oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), di Tree in One Café Banda Aceh, Minggu (4/2/2018) sore.
Asrizal menambahkan, di Aceh sudah ada Qanun Jinayah Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur tentang homo sex (liwath) dan lesbian (musahaqah) untuk menjerat perilaku sex menyimpang dengan hukuman cambuk hingga 100 kali.
“Namun, dalam Qanun itu belum ada aturan tentang transgender. Karena itu Qanun ini perlu direvisi dan diperkuat dengan menambah pasal-pasal baru tentang transgender. Saya akan membawa isu ini ke gedung DPRA sehingga aparat penegak hokum memiliki paying hukum dalam menindah pelakuk LGBT,” ujarnya.
Sementara itu Safaruddin, Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) wilayah Aceh menambahkan, tindakan yang dilakukan oleh Kapolres Aceh Utara yang menertibkan dan membina para waria beberapa waktu lalu tidak ada pelanggaran terhadap HAM.
“Janganlah mereka selalu berpikir untuk melindungi minoritas sementara kepentingan mayoritas selalu diabaikan. HAM di Aceh tidak boleh bertentangan dengan Syariat Islam. Kita harus lawan kampanye hitam yang disuarakan orang luar tentang Aceh. Aceh harus membentengi diri dari LGBT,” kata Safaruddin.