Fotografer Aceh, Chaideer Mahyuddin bersama Watch Indonesia dan Goethe Institute, menggelar pameran foto tunggal tentang Aceh di Kota Berlin, Jerman. Pameran foto tersebut berlangsung dari tanggal 5-18 Desember mendatang.
Chaideer berada di Jerman sejak 2-8 Desember. Ia turut hadir dalam pembukaan pameran fotonya itu, Selasa (5/12/2017) waktu Jerman. Usai dibuka, Chaideer didapuk sebagai narasumber inti dalam diskusi foto bersama fotografer dan masyarakat di Kota Berlin.
Chaideer memamerkan sedikitnya 30 frame foto tentang potret Aceh usai konflik berkepanjangan. Foto-foto bidikannya menceritakan Aceh dalam berbagai bingkai, mulai dari tsunami Aceh, proses perdamaian, rekonsiliasi, rehab rekon, hingga Aceh kekinian seperti penerapan syariat Islam, politik, isu lingkungan, dan pariwisata.
“Secara pribadi, pameran ini sebagai prestasi yang luar biasa dan mimpi yang terwujud, tentunya dengan pameran ini bisa membuka mata orang luar tentang Aceh dan perkembangannya pascakonflik, bencana, dan damai,” kata Chaideer.
Melalui 30 frame foto karyanya itu, Chaideer ingin menjelaskan kondisi di Aceh sebenarnya. Selama ini, katanya, yang paling disorot oleh masyarakat dunia tentang Aceh adalah soal pelaksanaan syariat Islam.
“Bicara Aceh nggak melulu soal syariat Islam. Syariat adalah salah satu aturan di Aceh yang dijalankan, tapi di balik itu semua ada sejarah panjang Aceh, juga ada budaya dan keindahan alam yang harus kita tunjukkan pada dunia,” ujarnya.
Terpilihnya Chaideer untuk memamerkan 30 frame foto tentang Aceh di Jerman, tidak terlepas dari sepak terjangnya sebagai fotografer Aceh yang bekerja pada kantor berita Agence France-Presse (AFP), di mana foto-foto bidikannya sering mewarnai media-media internasional selama ini.
Bukan hanya itu, keterlibatan Chaideer dalam konflik sebagai salah satu pejuang, juga menjadi daya tarik tersendiri bagi Watch Indonesia dan Goethe Institute. Keberhasilan dan prestasinya di dunia fotografi jurnalistik, dianggap berhasilnya proses rekonsiliasi di Aceh pascakonflik.
“Ya saya dianggap berhasil keluar dari image konflik, saya berhasil meninggalkan dunia saya sebelumnya. Tapi saya tidak perlu lagi menjelaskan kisah-kisah lama itu, sekali lagi terima kasih saya ucapkan kepada Watch Indonesia dan Goethe Institute,” pungkas pengurus Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh tersebut.
Sementara itu, Ketua PFI Aceh, Fendra Tryshanie, mengatakan, Chaideer Mahyuddin di kalangan pewarta foto Indonesia dikenal sebagai pribadi yang berintegritas tinggi. “Jadi, dedikasinya untuk dunia fotografi Aceh telah terbayar dengan dipamerkan karya foto jurnalistik Chaideer di Eropa,” kata Fendra.
Tentu, lanjut Fendra, ini menjadi kebanggaan sendiri bagi PFI Aceh dan PFI secara keseluruhan. “Harapan kami, ini bukan pertama dan terakhir bagi PFI Aceh. Semoga saja tekad Chaideer mengenalkan Aceh pada dunia, menular ke kawan-kawan PFI yang lain khususnya di Aceh,” pungkas Fendra.