Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Aceh adalah pusat peradaban Islam tertua di Nusantara. Di mata sejarawan, Aceh adalah sebagai gate way Islam ke Nusantara, bahkan Aceh adalah pusat peradaban Islam tertua di Asia Tenggara.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Tgk. H. Ajidar Matsyah, Lc., MA merekomendasi kepada pemerintah dalam hal ini kementerian terkait untuk mereposisi Aceh sebagai titik nol masuknya Islam ke Nusantara.
Hal ini disampaikan Tgk. Ajidar saat menjadi narasumber seminar international “Masuknya Islam ke Nusantara” yang diselenggarakan oleh UIN Ar-Raniry Banda Aceh bekerjasama dengan Dinas Syariat Islam Aceh, Selasa (5/12/2017) di Aula Asrama Haji, Banda Aceh.
Menurut, Tgk. Ajidar posisi Barus yang dulunya termasuk dalam wilayah Aceh merupakan kota penghasil kapur Barus terbaik di dunia saat itu, bukan sebagai gate way Islam masuk ke Nusantara. Meskipun diakui adanya komunitas muslim yang sampai ke Barus, lalu kemudian bermukim di Barus dan wafat di sana.
Ia menyakini Barus tetap sebagai kota penghasil kapur Barus, dan belum ada bukti kuat Barus sebagai titik nol, meskipun demikian keberadaan makam-makam kuno di Labau Tua Barus adalah bukti adanya komunitas muslim yang sampai ke Barus, namun mereka bukan yang terawal, bahkan ada asumsi yang menyebutkan bahwa mereka berasal dari Peurelak atau Pasai yang berhijrah ke Barus. Kemudian, jika merujuk ke penetapan Barus sebagai titik nol tidak melalui proses akademik yang memadai, dan tidak melalui penelitian ilmiah yang cukup.
“Penetapan Barus sebagai titik nol dapat mengarah kepada Inhiraf al-tarikh (penyelewawengan sejarah). Apalagi penetapan Barus sebagai titik nol masuk Islam ke Nusantara tidak melalui proses telaah akademik yang memadai”,kata Ajidar.
Selain itu, kata Ajidar sepanjang sejarah Kerajaan Peurelak, Kerajaan Pasai, hingga Kerajaan Aceh Darussalam, posisi Barus tidak dibicarakan sebagai pintu masuk Islam ke Nusantara, tetapi tetap sebagai kota penghasil kapur barus atau kamper.
Untuk itu, Tgk. Ajidar menyebutkan temuan bukti – bukti sejarah di kawasan Barus seperti makam Syekh Mahmud, makam Mahligai, dan lainnya, belum cukup kuat untuk menetapkan Barus sebagai titik nol masuk Islam ke Nusantara.
Menurutnya, ada beberapa alasan diantaranya ; jika Syekh Mahmud disebutkan sampai ke Barus pada era 10 tahun Rasulullah menyampaikan dakwah di Mekkah, hal ini perlu didalami lebih lanjut. Bagaimana mungkin dalam masa 10 tahun rasulullah berdakwah di Mekkah sudah ada yang menyebarkan Islam ke luar kota Mekkah, padahal al-Quran saja waktu itu belum selesai diwahyukan.
“Kalau dibenarkan Syekh Mahmud sebagai pembawa Islam pertama ke Barus pada era 10 tahun rasulullah di Mekkah, maka dapat dipastikan Syekh Mahmud itu sahabat Nabi saw, padahal jumlah sahabat Nabi waktu itu masih belasan orang, dan belum ada sebutan syekh untuk sahabat Nabi”,jelasnya.
Selain itu, jika Tuanku Raja Ibrahim Syah disebut sebagai raja pertama Barus, justru perlu juga ditinjau lebih lanjut. Karena menurut dosen SKI Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry tersebut, sebutan istilah “Tuanku” untuk raja Barus justru tidak menunjukkan Barus lebih awal dari Kerajaan Peurelak dan Pasai, karena istilah yang lebih tua untuk seorang raja adalah sultan apalagi sebutan untuk sebuah kerajaan Islam. Padahal istilah “Tuanku” baru muncul di era Pasai atau era kerajaan Melayu Melaka.
Pada seminar ini ikut hadir beberapa narasumber diantaranya, Prof. Dr. Oman Fathurrahman, MA (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA (UIN Ar-Raniry Banda Aceh), Dr. Phill. Ichwan Azhari, MA (Universitas Negeri Medan) dan Dr. Tgk. Ajidar Matsyah, Lc, MA (UIN Ar-Raniry Banda Aceh).