Banjir dan longsor yang mengguncang wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 tampaknya bukan sekadar soal air yang meluap. Sebagai penanda sebuah tragedi alam, bencana ini juga menjadi cermin pahit bagi banyak warga: kemarahan, ketidakadilan, dan luka lama yang kembali terbuka.
Berdasarkan analisis dari Drone Emprit, antara 25–29 November respons publik terhadap krisis ini menjelma menjadi lautan suara—lebih dari 102.599 mentions di media sosial & kanal online, dengan total interaksi hingga 382 juta. Di lapangan, dampaknya masif: infrastruktur vital seperti jalan nasional dan jembatan putus, puluhan kecamatan terisolasi, ribuan rumah rusak, dan korban jiwa terus bertambah—sejumlah laporan awal menyebut ratusan jiwa hilang atau menjadi korban.
Meski cuaca ekstrem akibat Siklon Senyar disebut sebagai pemicu utama — hujan lebat yang mengakibatkan banjir dan longsor — suara dari masyarakat dan aktivis cenderung menolak penjelasan sederhana itu. Banyak yang melihat akar masalah jauh lebih dalam: praktik deforestasi, izin tambang dan sawit yang longgar, serta tata kelola lingkungan dan ruang yang lemah, memicu kerusakan ekologis yang membuat bencana alam menjadi bencana struktural.
Di media sosial, persepsi ini menjelma kritik keras. Sentimen negatif terhadap penanganan pemerintah berada di kisaran 35–46%, dipicu antara lain oleh penolakan atas keputusan untuk tidak menetapkan status bencana nasional, tudingan “Jawa-sentrisme” dalam respons, serta kekecewaan atas ketimpangan representasi dan bantuan. Tagar seperti #SaveOrangUtanTapanuli muncul menegaskan kemarahan terhadap kerusakan hutan dan penebangan ilegal — publik tak lagi melihat bencana sebagai sekadar alam marah, melainkan sebagai konsekuensi kebijakan lingkungan yang gagal.
Kontras dengan narasi di media mainstream yang sebagian besar menyoroti respons cepat pemerintah dan upaya evakuasi — sekitar 60% pemberitaan bernada positif — di media sosial berkembang narasi berbeda: realitas suram di daerah terpencil, warga yang terjebak tanpa akses komunikasi, pemadaman listrik, kekurangan logistik, serta banyak korban yang belum tersentuh bantuan.
Di tengah krisis itu, muncul solidaritas organik dari masyarakat: donasi publik meningkat, relawan, komunitas lokal, lembaga kemanusiaan dan keagamaan bergerak cepat membantu korban di wilayah terisolasi, kadang lebih cepat daripada bantuan resmi. Suara warga, bukan hanya doa di media sosial lewat tagar seperti #PrayForSumatera — tetapi aksi nyata, mobilisasi lokal, pemetaan korban, dan distribusi bantuan independen.
Analisis Drone Emprit menegaskan bahwa bencana ini bukan sekadar bencana alam — ia juga menyingkap krisis ekologis, krisis keadilan, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Ketika hujan reda dan air surut, luka lingkungan dan kesenjangan sosial tetap tertinggal. Bagi banyak warga Aceh dan Sumatera, bencana hari ini bukan hanya tentang air — tapi tentang keadilan yang tertunda, perhatian yang timpang, dan tanggung jawab yang belum dipenuhi.


