Jurnalis Didorong Kuasai Literasi AI untuk Tingkatkan Kompetensi dan Etika Digital

Perkembangan kecerdasan artifisial (AI) yang begitu pesat menuntut para jurnalis dan masyarakat untuk tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga memahami cara kerja dan dampaknya terhadap kehidupan sosial. Literasi digital yang cerdas, kritis, dan beretika menjadi kunci agar teknologi tidak justru menggerus nilai kemanusiaan dan integritas profesi.

Pesan ini mengemuka dalam kegiatan “Literasi Cerdas di Era Kecerdasan Artifisial” yang digelar oleh Komdigi bekerja sama dengan Dewan Pers di Banda Aceh, Rabu (6/11/2025). Acara ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Iis Zatnika dari Media Indonesia, Fajar Eri Dianto pengamat digital dan Dewan Pembina TIK Indonesia, serta Toto Sugianto, Wakil Ketua Dewan Pers.

Dalam paparannya Iis Zatnika menekankan bahwa kecepatan arus informasi di era digital sering kali membuat publik kehilangan kemampuan untuk memilah kebenaran. “Kita perlu berhati-hati dengan arus informasi yang begitu cepat. Seperti air di pantai yang tampak tenang tapi bisa berubah menjadi ombak besar, informasi yang tidak terverifikasi dapat menimbulkan kepanikan, bahkan kerugian sosial maka penting bagi jurnalis untuk tetap kritis, memverifikasi sumber, dan tidak sekadar mengikuti arus teknologi,” ujarnya.

Iis menambahkan bahwa keberadaan AI memang membawa banyak kemudahan dalam proses kerja jurnalistik — mulai dari pengumpulan data, penyusunan naskah, hingga analisis tren berita — tetapi tidak boleh mengurangi sentuhan manusia dalam menilai konteks dan kebenaran. “AI bisa membantu, tapi keputusan akhir tetap harus datang dari nurani dan tanggung jawab jurnalis. Jangan sampai mesin menentukan arah pemberitaan kita,” tambahnya.

Sementara itu Fajar Eri Dianto, pengamat digital dan Dewan Pembina TIK Indonesia, mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia masih perlu membangun kepercayaan diri digital agar tidak hanya menjadi penonton dalam era kecerdasan buatan.
“Kita tidak akan bisa berjaya kalau hanya diam di kampung sendiri tanpa bersuara di ruang digital. Literasi AI bukan sekadar tahu cara menggunakan aplikasi, tapi memahami bagaimana sistem itu berpikir, memproses data, dan mengambil keputusan. Tanpa pemahaman itu, kita bisa saja menjadi korban dari teknologi yang kita gunakan sendiri,” kata Fajar.

Fajar juga menyoroti pentingnya kemampuan prompting, yaitu keterampilan memberi instruksi atau perintah yang tepat kepada sistem AI agar hasilnya relevan, akurat, dan etis. “Prompting adalah kompetensi baru yang wajib dimiliki jurnalis dan masyarakat. Ini bukan sekadar mengetik perintah, tapi tentang bagaimana berpikir kritis dan menyampaikan konteks dengan benar. Kalau kita tidak tahu cara beretika dan menulis perintah yang baik, AI justru bisa menghasilkan informasi yang menyesatkan,” jelasnya.

Fajar menegaskan penggunaan AI harus tetap menempatkan manusia sebagai pengendali utama. “AI bisa membuat pekerjaan lebih cepat dan efisien, tapi nilai-nilai manusia seperti empati, etika, dan tanggung jawab tidak bisa digantikan. Justru di sinilah keunggulan manusia harus diperkuat,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Toto Sugianto, Wakil Ketua Dewan Pers, yang menyampaikan pandangannya melalui Zoom, menegaskan bahwa teknologi, termasuk AI, hanyalah alat bantu yang tidak dapat menggantikan peran jurnalis sebagai penjaga kebenaran publik. “Teknologi hanyalah alat. Tapi nilai profesi jurnalistik adalah kepercayaan publik. Jika berita yang disajikan tidak diverifikasi, meskipun dibuat dengan AI, maka itu tetap melanggar etika,” tegasnya.

Toto menambahkan Dewan Pers mendukung pemanfaatan teknologi di media, namun tetap dengan koridor etika dan tanggung jawab sosial. “AI bisa digunakan untuk mempercepat riset atau editing, tapi jangan sampai menggantikan proses redaksi yang menuntut pertimbangan etis. Jurnalis harus tetap menjaga integritas dan akuntabilitas,” ujarnya.

Acara yang dihadiri puluhan jurnalis, akademisi, mahasiswa, dan komunitas digital ini menjadi ruang refleksi bersama tentang pentingnya kesiapan sumber daya manusia menghadapi era digital yang serba cepat. Para narasumber sepakat bahwa kecerdasan buatan harus dimanfaatkan secara bijak untuk memperkuat kualitas manusia, bukan menggantikannya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads