Perayaan peringatan dua puluh tahun damai Aceh meriah dengan berbagai agenda seremoni, dari diskusi hingga zikir bersama, semangat damai begitu terasa selama beberapa hari itu.
Namun bagi Agustiana, seorang perempuan yang harus hidup di kursi roda setelah tubuhnya dihantam serpihan granat pada 2001, kedamaian itu belum sepenuhnya berarti bebas dari luka. “Damai itu terasa di luar sana, tapi di dalam diri saya, bekasnya tidak pernah hilang” katanya lirih.
Kisah Agustiana bukan satu-satunya. Dua dekade setelah penandatanganan perjanjian damai Helsinki pada 15 Agustus 2005, masih ada korban dan keluarga korban yang terus berjuang dengan luka yang belum sembuh.
Damai memang menghapus ketakutan dan dentuman senjata, tetapi tidak serta-merta menyembuhkan trauma, kemiskinan, dan ketidakadilan yang ditinggalkan konflik. Hal ini menyisakan pertanyaan: Apakah damai hari ini juga berarti pemulihan bagi para korban, terutama perempuan?
Seperti Syarifah di Nagan Raya, yang kehilangan suami pada 2001 karena konflik, meninggalkan seorang putri yang kini telah tumbuh dewasa. Dua puluh tahun berlalu, ia mengaku belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Tidak menyerah pada takdir, Syarifah bangkit menyembuhkan trauma dan luka batinnya demi anak dan orang-orang yang peduli padanya, meski bukan tanpa hambatan. Pada 2014, ia pernah bekerja di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Nagan Raya, namun harus menelan pil pahit karena diberhentikan dengan tidak hormat.
“Saya dianggap sebagai istri kombatan, padahal kebenarannya, suami saya juga korban” ungkapnya terbata menahan tangis. Menurutnya, pemerintah setempat masih memperlakukan korban konflik dengan diskriminasi.
Safrida (40) dari Aceh Barat Daya, mantan Inoeng Balee, masih bergulat dengan luka yang tak kunjung sembuh dan keterbatasan ekonomi, menjadikannya salah satu korban yang belum merasakan kesejahteraan.
Pida, sapaan akrab Safrida, mengenang masa sulit ketika suami pertamanya meninggal di tengah konflik. “Ditembak di hutan hanya 12 hari setelah kelahiran anak saya” ceritanya. Kejadian itu menyisakan kesedihan mendalam karena harus membesarkan buah hati seorang diri, dengan stigma “istri kombatan” yang terus melekat dalam kehidupannya, hingga akhirnya ia menikah lagi dengan korban gempa dan tsunami Aceh pada 2004.
Belum seutuhnya hak korban terpenuhi menjadi tanda tanya: Apakah damai hari ini telah mewujudkan apa yang dibutuhkan para korban, terutama perempuan?
Aceh masih tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh per Maret 2025, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 mencapai 704.690 jiwa, atau sekitar 12,33 persen dari total populasi.
Safrida mengatakan, setiap tahun data korban diambil, namun hasilnya tidak jelas. Bahkan terkadang yang mendapat manfaat justru orang lain. “Ditanya ini itu, kami sudah jadi korban, jangan dikorbankan lagi. Anak-anak yatim korban konflik banyak yang terlantar. Ada yang tamat sekolah tapi tidak bisa melanjutkan kuliah, ada yang tidak dapat pekerjaan” imbuhnya.
Harapan Safrida sederhana namun mendesak, yaitu perhatian nyata bagi para korban. “Harapan kami, korban diperhatikan. Jangan hanya janji-janji dari pemerintah. Jangan seperti memberi kendaraan tapi tidak ada minyak dan kuncinya, jadi tidak bisa jalan” ujarnya.
Di balik luka dan tantangan itu, perempuan-perempuan ini tidak lantas pasif, justru dari tantangan yang mereka hadapi, muncul ketangguhan dan peran aktif mereka sebagai perempuan penjaga perdamaian.
Safrida tergabung dalam Askarimah Mandiri Aceh Barat Daya (Abdya), organisasi yang beranggotakan mantan anggota Inoeng Balee, di mana ia menjabat sebagai ketua. Organisasi yang kini berbentuk badan yayasan ini menjadi wadah bagi para anggotanya untuk saling mendukung.
“Kami punya sekitar seratus anggota. Setiap bulan ada arisan dan pertemuan” ujarnya. Selain menjadi sarana silaturahmi, organisasi ini juga menjadi harapan bagi pemberdayaan anggota untuk membangun ekonomi mereka di masa depan.
Ayu, sapaan dari Agus Murniana, tidak pernah membiarkan keterbatasan fisik menghalangi langkahnya. Saat ini, ia aktif di Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) sebagai Wakil Bendahara, di mana ia menemukan semangat juang melalui dukungan sesama rekan difabel.
“Dukungan dari keluarga besar juga, meski bukan semua dari korban konflik, kami mempunyai tantangan serupa, ternyata kondisi sulit tidak hanya saya alami; banyak teman difabel lain yang menghadapi tantangan serupa, yaitu hak-hak difabel” terangnya.
Keterlibatan Ayu tidak berhenti di situ. Ia juga ikut serta dalam berbagai kegiatan bersama Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan sejumlah aktivis yang memperjuangkan hak-hak korban konflik, termasuk mereka yang mengalami disabilitas.
Begitu pula dengan Syarifah, upaya untuk memperjuangkan hak-haknya tak pernah padam meski luka masa lalu masih terasa. Ia aktif menyuarakan hak-hak korban konflik seperti dirinya dengan bergabung dalam Solidaritas Persaudaraan Keluarga Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SPKP HAM).
Bersama sesama penyintas, Syarifah mendata keluarga korban dari desa ke desa di Nagan Raya, agar mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. “Seperti sapu lidi: satu lidi saja tidak bisa membersihkan sampah, tapi jika terkumpul menjadi satu ikat, barulah efektif” ujarnya.
Meski terbatas secara sumber daya, Syarifah merasa bahagia bisa memberikan dukungan bagi mereka yang membutuhkan, khususnya sesama perempuan. “Kami mungkin tidak bisa memberi uang, tapi dengan suara kami, pemerintah harus mengakui bahwa korban konflik di Nagan Raya itu ada” tegasnya.
Koordinator KontraS Aceh, Nurul Husna, menekankan peran perempuan dalam menjaga dan memelihara perdamaian. Ia menyebutkan bicara soal perdamaian Aceh tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Sejak masa konflik, perempuan-perempuan Aceh bersatu mengumpulkan suara, dan mendorong dialog untuk memastikan Aceh bebas dari nyala senjata.
“Perempuan memang tidak pernah lepas dari siklus perdamaian. Hari ini pun, perempuan-perempuan Aceh masih bekerja untuk memastikan tidak ada korban kekerasan lagi dan tidak ada yang tertinggal dalam proses pemulihan serta pembangunan” ucapnya.
Munawar Liza Zainal, anggota tim perunding di Helsinki 2005, dalam Selebrasi Pagi bersama Radio Antero 102 FM (Jumat, 15/8/2025), memberikan pandangannya tentang kondisi perdamaian Aceh. “Sudah 20 tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki, kita masih melihat bahwa masyarakat Aceh, termasuk korban konflik, belum sepenuhnya mendapatkan keterampilan yang dijanjikan.”
Meski sebagian dana otonomi khusus (Otsus) telah memberi manfaat bagi pembangunan, namun ia menilai juga belum sepenuhnya menyasar tepat sasaran. “Implementasinya memang berjalan, sebagian sesuai jalur dan sebagian di luar jalur, namun dasar bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat Aceh masih belum tercapai” tambahnya.
Suara lain datang dari Cut Farah Meutia, yang menyoroti sisi lain perdamaian. Baginya, jika perdamaian hanya diukur dari berhentinya suara senjata, tidak ada perang, tidak ada kekerasan, “dan orang bisa tidur dengan aman, maka kemungkinan besar perdamaian itu bisa disebut berhasil” ujarnya.
Namun, di luar aspek keamanan, aktivis yang menyuarakan kebenaran ini menilai masih ada substansi perdamaian yang belum terealisasi. “Perdamaian seringkali hanya terasa sebagai seremonial, seperti peringatan hari damai setiap tahun. Padahal, tujuan awal adalah menjadikan perdamaian sebagai jalan menuju self-government” sebutnya, “yaitu Aceh yang mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada pemerintah pusat.”
Karena itu, ia menekankan, Aceh harus berbenah, membangun basis ekonomi, meningkatkan pendidikan. “Itu yang benar-benar dibutuhkan rakyat Aceh hari ini, dan itu yang harus dipikirkan untuk masa depan” tambahnya.
Dr. Zaini Abdullah, mantan Gubernur Aceh periode 2012–2017, dalam wawancara saat menghadiri seremonial Pidato Perdamaian dan Penyerahan Penghargaan Ar-Raniry kepada Tokoh Perdamaian Aceh (Kamis, 14/8/2025), juga mengatakan pentingnya kesepahaman antara Aceh dan Jakarta.
“Banyak hal telah dicapai, namun masih ada yang perlu diperbaiki secara bertahap, penting adanya kesepahaman dan kerja sama yang baik antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. InsyaAllah, mudah-mudahan hal ini bisa terwujud” ujarnya. Ia yakin kepemimpinan pemerintahan sekarang mampu menjaga hubungan baik yang telah terbangun.
Rukiah Hanum, Presidensium dari Balai Syura, organisasi perempuan di Aceh, mendukung advokasi pemenuhan hak-hak korban konflik, terutama perempuan. “Damai ini hanya ada di permukaan, jika dilihat dari segi wilayah, lebih terasa di kota-kota, tapi di desa-desa belum cukup dirasakan” ucapnya.
“Apalagi untuk kelompok perempuan yang memang masuk ke dalam salah satu kelompok rentan, baik perempuan sebagai eks-kombatan, perempuan sebagai korban, atau keluarga korban belum sepenuhnya tersentuh pembangunan” sebutnya.
Ia menambahkan, isu perdamaian belum cukup diperhatikan dalam dokumen pembangunan, terutama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMA) Aceh. Karena itu, “Balai Syura mencoba memasukkan isu perdamaian ke dalam RPJMA. Alhamdulillah, sudah diterima dengan cukup baik oleh Bappeda yang menyusun dokumen perencanaan” ujarnya.
Pengawalan isu perdamaian yang dilakukan oleh Balai Syura telah memberikan titik terang, “karena sudah mulai muncul dalam RPJMA, tinggal kita kawal supaya bisa diimplementasikan dengan baik” tambah Kak Anum, sapaan akrabnya.
Advokasi juga dilakukan oleh Lembaga Swadaya Perempuan, Flower Aceh. Walaupun tidak mengadvokasi langsung perempuan korban, mereka mendorong keterlibatan mereka melalui konsultasi publik, advokasi kebijakan, dan pelatihan kelompok perempuan.
“Lewat mekanisme ini, perempuan, termasuk korban konflik, diberi ruang untuk mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan layanan politik, serta kesempatan untuk mengembangkan diri” terang Riri, Direktur Eksekutif Flower Aceh.
Menurutnya, meski konflik telah usai, bagi perempuan korban, pemenuhan hak masih jauh dari kata tuntas. “Hasil Focus Group Discussion (FGD) kami tahun 2022 menunjukkan pemulihan yang mereka terima belum memadai, dan intervensi pemberdayaan ekonomi pun belum berjalan secara sistematis” jelasnya.
Riri mengungkapkan, dalam konteks penanganan Aceh sebagai wilayah konflik, pendekatan yang dilakukan juga belum mengoptimalkan konsep Women, Peace, and Security (Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan). Padahal, “penting untuk memastikan partisipasi penuh perempuan, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga keterlibatan dalam pembangunan sejak perencanaan musrenbang, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi.”
Meski ruang partisipasi perempuan belum optimal, “kita mengapresiasi keluarnya qanun tentang partisipasi masyarakat sipil, tinggal memastikan agar porsi perempuan dan kelompok marginal juga tersedia di dalamnya” tutupnya.
Pada awal Januari 2025, Pemerintah Aceh melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menargetkan penyelesaian hak-hak korban konflik, termasuk mantan kombatan, tapol/napol, dan masyarakat terdampak, dalam lima tahun ke depan.
Ketua BRA, Jamaluddin, mengatakan, “Untuk mempercepat proses, kami meluncurkan sistem digital e-Proposal agar kebutuhan korban bisa tertata lebih rapi dan data lebih mudah diakses” Namun ia tak menampik tantangan terbesar saat ini adalah ketiadaan data jelas tentang kondisi mantan kombatan dan masyarakat terdampak.
Sementara berdasarkan data dari KKR Aceh, terdapat 5.264 pernyataan korban pelanggaran HAM yang telah diambil sebagai bagian dari upaya pengungkapan kebenaran.
Dua puluh tahun damai telah berlalu, perempuan di Aceh kini bukan sekadar korban, tapi agen penjaga perdamaian, yang terus memastikan suara mereka didengar dan hak mereka diperjuangkan. Ayu menekankan, para korban tak bisa hanya menunggu.
“Kita para korban harus saling merangkul. Jangan menunggu orang lain peduli, karena banyak yang tidak paham apa yang kita alami. Sakitnya jadi korban konflik itu luar biasa, tapi kita harus tetap kuat” ucapnya dengan suara bergetar namun tegas.
Safrida ikut menyuarakan jika perempuan tidak lemah. “Kami bisa bersuara, berdiri di atas kaki sendiri, dan memperjuangkan hak kami.” Dan, Syarifah menatap masa depan dengan optimis, “Nasib tidak akan berubah jika kita diam. Tetap berjuang—pesan ini untuk semua perempuan, bukan hanya di Aceh.”
Dua dekade bisa saja terasa lama, Juha Christensen, negosiator dalam perundingan Helsinki, mengingatkan jika perjalanan belum selesai. “Dua puluh tahun adalah waktu yang panjang, tetapi belum cukup untuk menuntaskan semuanya, masyarakat internasional tetap berkomitmen mendampingi Aceh.”
Perdamaian di Aceh memang telah tercapai, namun perjuangan untuk hak dan keadilan para korban konflik… masih terus berlanjut. (Nurul Ali)


