Perdamaian Aceh dinilai baru sebatas menghentikan konflik bersenjata, namun belum berhasil mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal ini disampaikan Cut Farah Meutia dalam wawancara program Selebrasi Pagi di Radio Antero 102 FM Banda Aceh, Jumat (15/8).
Ia merupakan anggota tim perundingan yang mewakili masyarakat sipil di Tokyo, meski perundingan tersebut tidak mencapai hasil, ia tetap aktif terlibat dalam berbagai upaya perdamaian Aceh. “Kalau perdamaian hanya diukur dari berhentinya senjata, ya berhasil. Tapi tujuan awalnya, yakni kemandirian ekonomi dan pendidikan, itu tidak tercapai” sebutnya.
Menurut Farah, perhatian elite lokal selama ini lebih banyak tersedot pada urusan politik ketimbang pembangunan, sehingga peluang besar yang lahir dari perdamaian gagal dimanfaatkan. Ia menegaskan bahwa dua dekade berkutat pada politik tidak membawa hasil nyata, sehingga sudah saatnya fokus dialihkan pada penguatan ekonomi, peningkatan pendidikan, dan pemberdayaan rakyat kecil.
Ia mendorong agar pemerintah Aceh lebih fokus pada ketahanan pangan dengan memperkuat sektor yang menjadi basis masyarakat, petani, nelayan, dan peternak. Menurutnya, Aceh tidak perlu berambisi mengejar investor besar, “karena jika kebutuhan dasar seperti irigasi, pupuk, dan infrastruktur terpenuhi, rakyat akan mampu mandiri” imbuhnya.
Farah juga menyoroti pengelolaan dana Otsus yang seharusnya menopang sektor pendidikan, namun justru membuat Aceh berada pada posisi terendah dalam capaian pendidikan di Sumatra.
Munawar Liza Zainal, anggota tim juru runding GAM di Helsinki yang juga hadir sebagai narasumber dalam program tersebut, menilai sebagian dana otonomi khusus (Otsus) memang memberi manfaat bagi pembangunan. Namun, menurutnya, pengelolaan dana tersebut sering tidak tepat sasaran.
Ia mencontohkan pasar yang dibangun dengan dana Otsus justru terbengkalai karena perencanaannya keliru. “Perencanaan yang lemah, distribusi yang terhambat, dan fokus yang lebih banyak pada infrastruktur membuat dana itu kurang menyentuh pengembangan sumber daya manusia” ujarnya.
Munawar menegaskan pentingnya dana otonomi khusus (Otsus) untuk tetap dipertahankan, bahkan bila perlu dijadikan permanen. Ia beralasan, penderitaan yang dialami rakyat Aceh jauh lebih besar dibanding nilai dana yang diberikan.
Ia turut menyoroti hak-hak korban konflik hingga kini belum sepenuhnya terealisasi, mulai dari akses terhadap tanah, pekerjaan, hingga jaminan sosial. Menurutnya, tanpa keadilan, perdamaian Aceh tidak akan pernah benar-benar sempurna. “Implementasi MoU Helsinki baru tercapai sekitar 70–80 persen secara kuantitas, namun kualitasnya masih di bawah 50 persen.”
Munawar menegaskan bahwa perdamaian lahir dari perjuangan rakyat kecil, sehingga kini masyarakat Aceh memiliki kesempatan untuk membangun kesejahteraan, meski pelaksanaan MoU masih jauh dari harapan. Di sisi lain, Farah menilai perdamaian memang berhasil menghentikan konflik bersenjata, namun belum mampu mewujudkan cita-cita self-government atau kemandirian Aceh. (Nurul Ali)


