Dua puluh tahun pasca-MoU Helsinki, korban konflik Aceh masih menghadapi ketidakpastian. Hal itu terungkap dalam pembacaan rekomendasi oleh perwakilan korban dari 16 kabupaten/kota di Aceh yang menuntut percepatan pemenuhan hak-hak mereka, pada Jumat (15/8) di pelataran Kontras Aceh.
Para korban terlibat dalam kegiatan Lorong Ingatan yang digelar untuk memperingati dua dekade perdamaian Aceh. Tahun ini, kegiatan tersebut mengusung tema Tangkal Angot atau menangkal keberulangan, sebagai refleksi atas pentingnya memastikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu tidak terulang di masa depan.
Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna, menjelaskan bahwa Lorong Ingatan merupakan acara tahunan yang diadakan Kontras Aceh untuk mewariskan ingatan dan cerita masa lalu kepada generasi muda. “Tujuannya bukan menularkan kengerian perang, tetapi menumbuhkan kesadaran anak muda akan sejarah Aceh agar tidak mengulang kesalahan yang sama” ujarnya.
Selain diskusi dan belajar pemuda lintas kawasan dari Aceh, Papua, hingga Timor Leste ikut meramaikan acara tersebut. Husna menyebutkan, meski Aceh telah memasuki 20 tahun perdamaian, masih banyak pekerjaan rumah terkait pemulihan korban konflik yang hingga kini belum berjalan maksimal. “Padahal, korban yang tidak mendapatkan pemulihan berpotensi menjadi pelaku konflik di masa depan” imbuhnya.
Rudy Kogoya dari Asia Justice and Rights (AJAR) turut hadir dan membagikan pengalamannya di Papua. Ia menyebutkan, meski Aceh terlihat damai secara fisik dengan berkurangnya pos militer, keadilan bagi korban konflik, khususnya korban kekerasan aparat, masih belum terpenuhi. “Menurut perspektif korban, keadilan baru tercapai sekitar 50 persen. Masih banyak yang harus dilakukan, terutama oleh pemuda yang harus memaksa pemerintah berbuat sesuatu” ujar Rudy.
Ia menambahkan pentingnya memahami sejarah konflik, termasuk siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dari perspektif Papua, ia melihat kesamaan dengan Aceh, di mana yang pertama kali hadir mewakili negara adalah militer, sementara masyarakat justru mengalami kekerasan struktural. Semangat ini yang menjadi harapan Rudy dalam mendukung perjuangan hak-hak masyarakat Papua.
Peserta lain Cezario Cesar Da Costa dari AJAR Timor Leste, menyoroti perdamaian tidak boleh hanya dilihat dari ketiadaan senjata. “Kita perlu bertanya kembali, apakah perdamaian hari ini benar-benar dirasakan oleh semua orang, termasuk rakyat biasa, atau hanya terbatas di lingkaran segelintir saja,” ujarnya.
Menurutnya, dua puluh tahun setelah perjanjian damai Aceh penting untuk mengevaluasi kembali, “apakah kedamaian itu sudah menyentuh masyarakat luas dan terwujud dalam hubungan yang selaras dengan tanah serta situasi sosial, atau masih sekadar menjadi simbol semata.”
Lebih lanjut, Husna menekankan perdamaian harus berkeadilan bagi semua pihak. Menurutnya, menjaga perdamaian membutuhkan kerja sama lintas sektor tanpa terkecuali, termasuk melalui pemenuhan hak-hak korban konflik. ‘Saat ini, kesejahteraan dan keadilan bagi korban masih jauh dari kata tercapai” tutupnya. (Nurul Ali)


