Diskusi Internasional 20 Tahun Perdamaian Aceh: Memastikan Perdamaian Tetap Berlanjut

Dua dekade setelah penandatanganan perjanjian damai Helsinki, berbagai pihak kembali meneguhkan komitmen untuk menjaga keberlangsungan perdamaian di Aceh. Pesan itu mengemuka dalam diskusi internasional bertajuk “20 Years of Helsinki MoU: Successes and Challenges” yang berlangsung di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Kamis (14/8).

Forum refleksi dihadiri oleh Gubernur Aceh, perwakilan Crisis Management Initiative (CMI), Badan Reintegrasi Aceh (BRA), sejumlah duta besar, kepala daerah, akademisi, serta para aktivis perdamaian.

“Hari ini kita berkumpul dalam semangat persaudaraan untuk memperingati dua dekade perdamaian Aceh, proses ini harus terus kita jaga” ujar Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, saat pembukaan acara.

Perdamaian Aceh yang telah bertahan selama 20 tahun dinilai sebagai capaian besar yang patut diapresiasi. Hal tersebut disampaikan oleh Senior Manager CMI, Minna Kukkonen-Karlander. “Memang masih ada persoalan yang belum terselesaikan, tetapi komitmen para pihak tetap kuat” ujarnya.

Menurut Minna, pengalaman damai Aceh dapat menjadi model yang menginspirasi dunia. “Konteksnya memang sangat spesifik untuk Aceh, namun tetap bisa dijadikan pelajaran bagi pihak lain. Aceh sebagai bukti bahwa perdamaian dapat diwujudkan” katanya.

Sementara itu, Juha Christensen, salah seorang negosiator dalam perundingan Helsinki, menekankan pentingnya peran pihak ketiga dalam memastikan keberlanjutan perdamaian. “Hal paling besar adalah ketika kedua belah pihak, khususnya Pemerintah Indonesia, sepakat menghadirkan pihak ketiga. Monitoring Mission diizinkan memantau implementasi perdamaian” jelasnya.

Juha juga mengingatkan bahwa masih ada butir MoU Helsinki yang belum sepenuhnya terlaksana. “Dua puluh tahun adalah waktu yang panjang, tetapi belum cukup untuk menuntaskan semuanya, karena itu, masyarakat internasional tetap berkomitmen mendampingi Aceh” tegasnya.

Dalam kesempatan berbeda, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Marc Gerritsen, menilai perjanjian damai Aceh sebagai sebuah landmark penting dalam sejarah dunia.

“Perdamaian Aceh menunjukkan bahwa kesepakatan dapat tercapai jika ada kemauan politik. Namun, masih ada pekerjaan rumah, seperti pemulihan, peningkatan posisi sosial-ekonomi perempuan dan anak-anak, serta transisi keadilan” sebut Gerritsen.

Ia menambahkan, tantangan utama dari misi pemantauan Uni Eropa dan ASEAN adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara menampilkan kemajuan ekonomi dan memastikan perdamaian tetap berlanjut. (Nurul Ali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads