Oleh: Dr. Amri, SE, M.Si
(Pengamat Ekonomi, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala)
Bank Aceh Syariah (BAS) memegang peran penting dalam arsitektur ekonomi Aceh. Sebagai satu-satunya Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang telah sepenuhnya menerapkan prinsip syariah, Bank Aceh seharusnya bukan hanya menjadi pelengkap sistem keuangan, tetapi aktor utama dalam menggerakkan pertumbuhan sektor riil, khususnya UMKM, industri halal, dan pembiayaan hijau.
Sayangnya, hingga kini peran itu belum sepenuhnya optimal. BAS masih terjebak dalam fungsi pasif sebagai penyalur dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Momentum pergantian kepemimpinan daerah, dengan terpilihnya Bapak Muzakir Manaf (Mualem) sebagai Gubernur Aceh, menjadi kesempatan emas untuk melakukan transformasi strategis terhadap posisi dan fungsi Bank Aceh.
Saya berpandangan bahwa Bank Aceh harus naik kelas. Tidak cukup hanya menjadi ‘bank milik pemerintah daerah’, tetapi menjadi pondasi ekonomi Aceh yang tangguh, profesional, dan kompetitif secara nasional. Untuk itu, ada beberapa prasyarat penting yang harus segera dipenuhi.
Profesionalisme Bukan Akomodasi Politik
Kunci pertama adalah penunjukan Direktur Utama BAS yang benar-benar memiliki kompetensi, integritas, dan visi yang kuat dalam perbankan syariah. Posisi ini tidak boleh lagi diwarnai akomodasi politik. Dirut ideal harus memiliki:
Pengalaman manajerial minimal 5 tahun di industri perbankan syariah;
Pemahaman regulasi OJK, BI, dan prinsip-prinsip tata kelola syariah;
Kemampuan membangun sistem mitigasi risiko pembiayaan produktif;
Strategi digitalisasi dan ekspansi pasar yang realistis dan terukur.
Strategi Transformasi
Saya mengusulkan empat strategi transformasi utama bagi Bank Aceh di bawah kepemimpinan baru:
- Diversifikasi pembiayaan UMKM, agar tidak hanya terkonsentrasi pada sektor-sektor yang rawan secara ekonomi;
- Penguatan digitalisasi, termasuk kemitraan dengan platform fintech halal yang berbasis syariah dan inklusif;
- Ekspansi terbatas ke wilayah diaspora Aceh seperti Medan, Jakarta, dan bahkan Malaysia, untuk memperluas basis nasabah;
- Pengurangan ketergantungan terhadap APBA, karena lebih dari 60% dana pihak ketiga BAS saat ini masih bersumber dari anggaran pemerintah daerah.
Bank Aceh perlu membangun sumber likuiditas alternatif dari sektor swasta, pelaku usaha, dan komunitas diaspora. Dengan demikian, BAS bisa menjadi lembaga keuangan yang independen dan mandiri secara fiskal.
Merapikan Warisan Lama
Kita tidak bisa menutup mata bahwa Bank Aceh saat ini sedang menanggung sejumlah beban struktural. Kinerja keuangan yang rendah—seperti ROA hanya 0,5% dan NPL yang sempat melampaui 5%—menunjukkan lemahnya pengawasan dan kualitas pembiayaan. Rasio LDR di atas 90% juga menjadi sinyal kehati-hatian, karena itu artinya bank terlalu agresif menyalurkan dana tanpa cadangan likuiditas yang memadai.
Masalah ini harus segera dirapikan oleh manajemen baru, terutama dalam hal tata kelola risiko, audit internal, dan sistem pengawasan.
Penutup
Bank Aceh bukan sekadar instrumen fiskal milik daerah. Ia adalah simbol kedaulatan ekonomi Aceh. Jika dikelola secara profesional, Bank Aceh bisa menjadi platform pembangunan sektor produktif, menggerakkan ekonomi rakyat, dan mengambil posisi strategis dalam ekosistem keuangan syariah nasional.
Sebaliknya, jika tata kelola masih dibelenggu oleh kepentingan politik dan budaya “asal dekat”, maka Bank Aceh akan tetap menjadi “bank kecil milik pemda yang besar pengaruhnya, tapi minim dampaknya.”
Saya percaya, di bawah kepemimpinan Mualem, inisiatif besar ini bisa dimulai. Tapi itu hanya mungkin bila kita berani memilih jalan profesionalisme dan integritas sebagai fondasi utama pembangunan ekonomi Aceh ke depan.
*) Dr. Amri, SE, M.Si adalah pengamat ekonomi dan bisnis USK, mantan Sekretaris Program Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, dan pemegang sertifikat Planning and Budgeting dari GRIPS, Tokyo, Jepang.


