Khanduri Jazz: Catatan Saya tentang Damai dan Jazz

Oleh: Moritza Thaher

Malam 30 April 2025, saya berdiri di atas panggung ballroom Hermes Palace Hotel Banda Aceh dengan perasaan yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di hadapan saya, sekitar 300 penonton hadir dengan antusiasme yang hangat—datang untuk merayakan Khanduri Jazz, sebuah pertunjukan musik jazz yang kami gelar selama dua setengah jam, dari pukul 20.30 hingga 23.00 WIB. Acara ini merupakan persembahan dari Radio Antero FM, sekaligus perayaan Hari Jazz Internasional dan 20 Tahun Perdamaian Aceh.

Sejak awal, saya membayangkan Khanduri Jazz bukan hanya sebagai konser, tetapi sebagai ruang perjumpaan—antara musik dan makna, antara generasi dan sejarah. Jazz, bagi saya, adalah bahasa yang terbuka untuk berdialog. Maka malam itu kami hadirkan ragam warna musik: dari jazz standard hingga fusion, dari swing hingga smooth jazz, dari soul hingga jazz etnik Aceh. Semua kami rangkai untuk merayakan perdamaian dengan cara yang merdu.

Saya sendiri bermain bersama grup Moritza Thaher & Friends, bersama para sahabat sekaligus musisi senior Banda Aceh: Afrizal (piano), Teuku Deden (bass), Teuku Mahfud (drum), Yudi Amirul (gitar), Akhyar (perkusi), dan Anggi Kurniawan (harmonika). Kami tak tampil sendirian. Malam itu kami berkolaborasi dengan 15 penyanyi dari berbagai generasi: Afifah Rayyana Rizqi, Aisyah Naira Alfian, Arie Hidayati, Aulia Rohendi, Azlin Meirina, Carissa, Erlinda Sofyan, Fathya, Iwan Soenaryo, Meutya Azzahra, Popi Gade, Raymond Ferdi, Ratu Najla, Reza Idria, dan Sandy Islamanda Sugihen. Beberapa di antaranya adalah remaja yang merupakan murid saya sendiri di Sekolah Musik Moritza, Banda Aceh—dan saya sangat bangga melihat keberanian dan ketulusan mereka di atas panggung.

Kami juga beruntung karena malam itu turut hadir tiga tamu istimewa dari Jakarta: Agam Hamzah, Adi Darmawan, dan Budhy Haryono. Saya sempat melihat mereka duduk di antara penonton saat kami tampil, meski mereka baru dijadwalkan bermain di sesi berikutnya. Seusai pertunjukan, Adi Darmawan menyampaikan bahwa kualitas tata suara malam itu sangat mendukung ekspresi musikal yang kami usung. Bagi saya pribadi, itu pujian yang sangat berarti.

Apa yang terjadi malam itu bukan sekadar pertunjukan. Saya merasakan betul bagaimana penonton begitu terhubung dengan setiap lagu, setiap improvisasi, setiap dinamika. Ada momen-momen di mana mereka ikut bernyanyi dan tersenyum. Salah satu teman saya, Fadli, datang jauh-jauh dari Langsa bersama keluarganya hanya untuk menghadiri konser ini. “Semoga sering-sering ada acara kayak gini di Aceh,” katanya sambil menepuk bahu saya. Saya hanya bisa mengangguk dan mengucap terima kasih.

Sebagai penyelenggara dan juga musisi, saya melihat Khanduri Jazz sebagai kelanjutan dari semangat yang mulai tumbuh di Banda Aceh. Sebelumnya, pada Januari, kami mengadakan Aceh Jazz Coffee—sebuah forum santai bagi para musisi jazz lokal untuk bersilaturahmi dan bermain musik. Kini, dengan Khanduri Jazz, semangat itu mulai menemukan panggung yang lebih besar, lebih terbuka, dan lebih inklusif.

Jazz bagi saya adalah tentang mendengar—ke orang lain, dan ke diri sendiri. Dan malam itu, saya merasa semua orang di ruangan itu saling mendengar. Di tengah alunan nada yang saling merespons, saya merasa Aceh tak hanya merayakan jazz, tapi juga merayakan dirinya sendiri: damai, terbuka, dan penuh potensi.

Saya berharap Khanduri Jazz bisa terus hadir setiap tahun, menjadi bagian dari kalender seni budaya Aceh. Sebuah ruang kreatif yang tumbuh bersama komunitasnya, menjembatani generasi, dan terus menjaga semangat kolaborasi. Untuk semua yang hadir, yang tampil, yang mendukung—terima kasih. Sampai jumpa di perayaan berikutnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads