Aceh Jazz Coffee digelar pada Minggu malam 19 Januari di Blackross Cafe, mengundang antusiasme penonton dan penggemar jazz, setelah sekian lama Banda Aceh kering dari pertunjukan serupa. Pada awalnya direncanakan acara ini untuk menjadi ajang reuni dan tribute untuk Mulyadi, maestro musik Aceh yang kembali ke kampung halaman setelah sekian lama berkarir di luar kota. Tapi, acara ini berubah menjadi optimisme untuk pertunjukan musik jazz selanjutnya dalam waktu dekat.
MAESTRO
Mulyadi, yang akrab disapa Mul, adalah seorang pianis jazz asal Banda Aceh.
Ia memulai karier musiknya sejak duduk di bangku sekolah menengah pada akhir tahun 1970-an.
Di kalangan musisi Banda Aceh, Mul dikenal sebagai sosok yang memiliki disiplin tinggi dan permainannya yang selalu akurat.
Sejak tahun 1992, Mul pindah dari Banda Aceh ke Krueng Geukueh, Aceh Utara, untuk bekerja di pabrik pupuk ASEAN Aceh Fertilizer (AAF). Namun, aktivitas musiknya tidak terhenti di sana, karena ia juga berperan sebagai musisi di perusahaan tersebut.
Setelah AAF berhenti beroperasi pada tahun 2003, Mulyadi melanjutkan kariernya di Pupuk Kaltim di Bontang. Pada pertengahan tahun 2024, ia kembali ke Banda Aceh setelah pensiun dari Pupuk Kaltim.
ACEH JAZZ COFFEE
Sound of Nanggroe, sebuah event organizer, mengundang Mulyadi untuk tampil sebagai pengisi acara dalam event bertajuk Aceh Jazz Coffee, yang digelar pada 19 Januari 2025 di Black Ross, Pasar Aceh.
Mulyadi kemudian mengajak beberapa penyanyi dan musisi lainnya untuk tampil bersama, termasuk saya untuk bermain gitar bass.
Sebanyak 16 lagu dibawakan pada malam itu, terdiri dari jazz standar, fusion, dan lagu-lagu Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Aqua de Beber, Cheek to Cheek, Lullaby of Birdland, Misty, Come with Me, dan lagu-lagu lainnya.
ANTUSIASME
Berkat promosi besar-besaran melalui media sosial, stasiun radio dan media luar ruang, antusiasme penonton menjadi sangat tinggi.
Sayangnya, antusiasme tersebut justru seperti besar pasak daripada tiang.
Lokasi acara yang sempit membuat upaya promosi yang dilakukan berujung mengecewakan.
Banyak penonton terpaksa meninggalkan tempat karena tidak mendapat ruang.
Padahal, lokasi awal yang direncanakan di Taman Budaya Aceh sudah sangat ideal, tetapi entah mengapa panitia memutuskan memindahkannya ke sebuah warung kopi kecil di kawasan Pasar Aceh.
SOUND SYSTEM
Usai acara, beberapa teman yang ikut menonton menghampiri saya untuk mengucapkan selamat, sambil menyampaikan keluhan tentang masalah sound system.
Salah satu dari mereka mengatakan bahwa penataan sound system untuk acara ini adalah yang terburuk dari semua event yang pernah mereka saksikan di Banda Aceh selama beberapa tahun terakhir. (Moritza Thaher)